Abstract

Teenager with diplegia cerebral palsy has poor ADL (Activity Daily Living) ability. This is due to that he doesn’t train his ability while at home because his family choose to give him full support by preparing all his needs. The goal of this researches is to change dependent behavior to more independent in his simple daily routine that related to optimum hand utilization and also ability to move independently. Researcher is using experimental method with case study approach. Researcher give behavioral therapy intervention (shaping) to improve level of independence of subject. Intervention was done in 5 session, including rapport, determined activity, activity training, intervention and evaluation. Intervention was done in 6 days doing observation and using target achievement activity checklist. Before intervention, subject always aided in daily living activity. After intervention, subject want and able to do simple daily activity such as eat, using and tidy up his clothes and also moved independently. The result of this researches show that shaping behavioral therapy can be used to improve level of independence in teenager with cerebral palsy diplegia. 

P ENDAHULUAN

Cerebral palsy merupakan penyebab ketidakmampuan fungsional paling banyak pada masa anak-anak. Miller & Bachrach (1995) mengungkapkan cerebral palsy diplegia adalah suatu bentuk cerebral palsy yang secara dominan menyerang kedua kaki, sedangkan bagian kedua tangannya tidak terganggu parah dibandingkan kakinya. Pada penderita cerebral palsy terdapat kelemahan otot, gerakan involunter atau inkoordinasi yang menyebabkan disfungsi gerak sehingga dapat membatasi aktivitas kehidupan sehari-hari seperti kemampuan merawat diri, makan, minum dan berbusana. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya rasa ketergantungan yang tinggi pada orang lain dan mengharap bantuan dalam melakukan aktivitas sederhana sehari-hari [1].

Kemandirian merupakan salah satu kebutuhan penting bagi manusia, tidak terkecuali penderita cerebral palsy. Meskipun memiliki keterbatasan motorik, penderita cerebral palsy tetap harus dapat memaksimalkan kemampuannya dengan dilatih mengurus diri sendiri melalui keterampilan sederhana, sehingga tidak selamanya bergantung pada orang lain (Fadillah & Kholida, 2003). Pelatihan itu dapat dilakukan dengan mengikuti terapi yang dilakukan di sekolah ataupun dilatih oleh keluarga di rumah dengan bekal yang telah diajarkan oleh terapis sebelumnya. Hal ini sangat membatu untuk perkembangan motorik atau gerak terutama saat berada dalam lingkungan sosial atau berkumpul dengan teman-temannya.

Perkembangan kemandirian seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh pembawaan yang melekat pada diri individu, namun juga dipengaruhi oleh stimulasi yang datangdari lingkungannya, salah satunya adalah pendidikan dan keluarga khususnya pola asuh orang tua pada anaknya. Dalam kehidupan sehari-hari anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga sehingga pola asuh yang diterapkan di rumah sangatlah penting terlebih dalam memberikan perhatian kepada anaknya. Namun, bukan sikap memanjakan, melainkan dengan memberi perhatian yang cukup dalam mengembangkan dan melatih kemampuan anak. Menurut Sugihartono dkk (2012) pola asuh permisif ialah bentuk pengasuhan dimana orang tua memberi kebebasan sebanyak mungkin pada anak, namun anak tidak dituntut untuk bertanggungjawab pada dirinya sendiri.

SMA Inklusi A di Surabaya, terdapat siswa kelas II yang mengalami cerebral palsy tipe diplegia dimana kedua kakinya layu dan kondisi tangan tremor ringan tetapi masih dapat digunakan untuk menulis dan memegang sesuatu yang ringan. Siswa tidak mampu berjalan sehingga untuk berpindah tempat dengan menggunakan kusi roda. Berdasarkan hasil observasi dalam melakukan aktivitas sehari-hari siswa tersebut selalu didampingi dan dibantu oleh nenek, baik untuk melakukan hal-hal sederhana sekalipun.

Berdasarkan hasil wawancara dengan keluarga, orang tua belum dapat menerima kondisi anaknya yang tidak sempurna apalagi keadaan orang tua yang sudah bercerai sejak anak berusia SD. Hal ini membuat orang tua kurang memperhatikan anak dan menyerahkan pengasuhan kepada nenek, sehingga anak merasa kurang kasih sayang dan perhatian dari orang tua. Bahkan ia merasa orang tua sudah tidak peduli dengan keberadaannya, walaupun secara materi ia tercukupi. Nenek merasa tidak tega dengan kondisi cucunya sehingga menjadi protective dengan mendampingi, memberikan kasih sayang dan memenuhi kebutuhannya mulai dari hal yang sederhana sekalipun. Bahkan memakai baju dan menyiapkan makan masih sering dibantu oleh nenek. Hal ini yang membuat anak menjadi tidak mandiri dan merasa tidak berdaya karena tidak dapat melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain.

Dengan kondisi nenek yang semakin lanjut membuat kekhawatiran tersendiri terutama pada keberdayaan anak sehingga membuat nenek berkeinginan untuk menumbuhkan kemandirian anak melalui terapi yaitu dengan mengajarkan kepada anak untuk dapat melakukan aktivitas sederhana secara mandiri. Namun untuk melakukannya ia masih kesulitan dan tidak memahami harus berbuat apa sehingga membutuhkan bantuan dari orang lain untuk memberi arahan.

Ada banyak teknik yang digunakan dalam meningkatkan keterampilan bina diri anak berkebutuhan khusus seperti stimulus fading, forward and backward chaining, rewarding or positive reinforcement, modeling and shaping [2]. Dalam pembelajaran bina diri untuk melakukan aktivitas sehari-hari mengacu pada karakteristik anak, yaitu dengan membagi beberapa tahapan menjadi langkah kecil agar anak dapat mudah mengikutinya. Dari beberapa teknik tersebut peneliti menggunakan teknik shaping.

Shaping adalah pembentukan perilaku baru atau perilaku yang belum pernah dilakukan individu, dan sulit atau tidak mungkin untuk memunculkan perilaku baru yang diinginkan tersebut, dengan cara memberi pengukuh/penguat jika telah muncul perilaku-perilaku yang menyerupai atau mendekati perilaku yang diinginkan, sehingga pada akhirnya memunculkan perilaku yang sama sekali baru yang diinginkan (Martin, 1992). Menurut prinsip behavioral, shaping merupakan teknik yang selalu mengesampingkan hal-hal yang berhubungan dengan mekanistik, yang memiliki tahap-tahap diantaranya reinforcement dan ada modal awal yang harus dimiliki, dimana hal tersebut mirip dengan suatu tujuan. Penguatan tidak selalu berupa materi tetapi juga dapat berupa kalimat pujian atau motivasi.

Berdasarkan beberapa pertimbangan diatas, penulis merasa tertarik untuk membahas kasus tersebut yang berkenaan dengan upaya meningkatkan kemandirian remaja cerebral palsy diplegia dengan menggunakan teknik shaping.

M ETODE

Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen dengan pendekatan studi kasus. Peneliti akan menggali informasi secara mendalam dan memusatkan diri secara intensif tentang pembentukan perilaku untuk mengembangkan kemandirian penderita cerebral palsy. Hal ini sejalan dengan pendapat Gunawan (2014) bahwa penelitian studi kasus memusatkan diri secara intensif pada satu obyek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu kasus.

Subyek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah remaja cerebral palsy diplegia yang bersekolah di SMA Inklusi A di Surabaya. selain itu juga terdapat informan yaitu nenek subyek yang juga akan bertindak sebagai signifikan other dalam pelaksanaan intervensi.

Instrumen

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan obsevasi. Wawancara dilakukan pada subyek, orang tua subyek dan nenek subyek. Observasi dilakukan dengan mengamati subyek yang sedang melakukan aktivitas sebelum diberikan intervensi, saat pelaksanaan intervensi dan sesudah intervensi. Selain itu tindakan orang disekitar subyek saat intervensi juga perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi keberhasilan subyek. Smua kegiatan yang dilakukan saat intervensi dicatat dan terdapat ceklis keberhasilan atau kegagalan subyek melakukan aktivitas sesuai yang telah ditetapkan.

Dalam pelaksaan intervensi dilakukan 5 sesi yaitu mulai dari rapport, penetapan aktivitas bersama subyek, latihan, intervensi dan evaluasi. Berikut tabel rancangan intervensi:

Sesi Waktu Kegiatan Target
I 60 menit Membangun rapport dan menjelaskan tujuan intervensi Klien memahami tujuan kegiatan dan pentingnya aktivitas ini untuk memperbaiki diri
II 60 menit Bersama-sama menetapkan aktivitas yang perlu dipelajari selama intervensi berlangsung Klien melakukan aktivitas sesuai dengan yang ia butuhkan dan inginkan
III 3 hari (120 menit per hari) Memberi latihan dan cara melakukan aktivitas yang sudah ditentukan dengan bantuan dan pengawasan signifikan other Klien memahami cara-cara untuk berhasil melakukan aktivitas secara mandiri
IV 6 hari Pelaksanaan intervensi (observasi dilakukan sepanjang hari) Melakukan aktivitas seperti yang diharapkan
V 60 menit Melakukan evaluasi setelah praktik intervensi Dapat diketahui hambatan dalam pelaksanaan intervensi sehingga dapat dirumusukan solusi yang tepat
Table 1.Rancangan intervensi

Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan digunakan dalam penelitian ini melalui 3 tahap yaitu data reduction, data display dan conclution drawing [3]. Pertama, reduksi data dilakukan dengan merangkum data-data pokok yang diperoleh serta membuang yang tidak diperlukan dengan mengacu pada batasan masalah yang telah ditetapkan. Kedua, penyajian data dilakukan dengan tujuan agar peneliti memahami apa yang terjadi dan akan dilakukan selanjutnya. Data yang disajikan dalam penelitian ini berupa ceklist hasil intervensi yang berkaitan dengan pembentukan perilaku (shaping) kegiatan yang telah ditetapkan. Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi yaitu gambaran akhir dari penelitian ini yang menunjukkan tingkat keberhasilan intervensi yang telah dilakukan.

Pencatatan kegiatan subyek dibuat dalam bentuk tabel dan ceklist dengan menandai setiap kali

subyek mampu melakukan kegiatan yang telah ditetapkan dan menuliskan apa yang menjadi kendala apabila subyek gagal melakukan kegiatan tersebut. Dari pencatatan tersebut dilihat dari intervensi awal hingga pelaksanaan hari terakhir mengenai perkembangan dan kemajuan subyek. Kegiatan diurutkan dari yang paling mudah hingga yang dirasa sulit bagi subyek.

H ASIL DAN P EMBAHASAN

Subyek penelitian bersama-sama dengan peneliti telah menetapkan beberapa perilaku yang akan digunakan sebagai dasar dalam pemberian intervensi. Dari didapatkannya hasil kesepakatan aktivitas yang ditentukan sebagai pedoman intervensi, maka intervensi dapat dilanjutkan dengan memberikan latihan terlebih dahulu selama 3 hari dengan durasi waktu 2 jam per hari. Intervensi dilakukan selama 6 hari dengan pentacatan oleh signifikan other yaitu nenek subyek.

No Target Perilaku Kegiatan/aktivitas Tingkat keberhasilan
Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 Hari ke-5 Hari ke-6
24-10-2019 25-10-2019 26-10-2019 27-10-2019 28-10-2019 29-10-2019
1. Menggunakan tangan dengan maksimal 1. Menyiapkan buku pelajaran
2. Mengambil pakaian
3. Meletakkan pakaian di lemari
4. Menyiapkan peralatan mandi - -
5. Melipat baju -
6. Mengambil makanan sendiri di meja
7. Mencuci piring - -
8. Mengancingkan baju
2. Bergerak dan mampu berpindah tempat secara mandiri 1. Berpindah dari kursi roda ke sofa
2. Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur -
3. Berpindah dari kasur ke kursi roda - -
4. Berpindah dari kursi roda ke mobil - -
Keterangan Masih ada rasa takut dari nenek subyek, sehingga saat subyek kesulitan, langsung dibantu Karena terburu-buru berangkat sekolah kesiangan sehingga nenek membantu menyiapkan alat mandi dan berpindah daru kursi roda ke mobil Subyek merasa capek dengan aktifitas pada hari itu sehingga enggan mencuci piring dan minta dibopong dari kasur ke kursi roda Nenek melihat subyek terlalu lama untuk berpinda dan khawatir sehingga dibantu Subyek merasa senang bisa melakukan sendiri kegiatannya walaupun butuh waktu yang cukup lama Subyek merasa gembira dan nenek subyek menyadari bahwa sebenarnya subyek mampu untuk melakukan hal-hal sederhana jika diberi kesempatan
Table 2.Pelaksanaan intervensi

Sebelum mendapatkan intervensi, subyek selalu merasa dirinya lemah dan tidak dapat melakukan apa-apa sehingga dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari subyek bergantung pada bantuan orang lain yang dalam hal ini dilakukan oleh nenek subyek. Ketidakberdayaan subyek juga menyebabkan subyek menarik diri dari lingkungan sosial. Hal ini kurang bagus bagi kemandirian klien terutama dalam menjalankan kehidupan sosial sehari-hari. Setelah mendapatkan intervensi selama 6 hari, perubahan yang tampak pada diri klien dapat dilihat pada tabel berikut:

No Target Perilaku Kegiatan Intervensi Tingkat keberhasilan
Sebelum Sesudah Berhasil Gagal
Mendayagunakan tangan dengan maksimal Menyiapkan buku pelajaran Kadang melakukan sendiri, tetapi lebih sering disiapkan nenek Sudah menyiapkan sendiri, tidak mau dibantu
Mengambil pakaian Disiapkan oleh nenek Mampu memilih dan menyiapkan baju sendiri
Meletakkan pakaian di lemari Dibantu oleh pembantu Mampu meletakkan sendiri
Menyiapkan peralatan mandi Disiapkan oleh nenek dan pembantu Mampu menyiapkan sendiri walaupun agak lama
Melipat baju Dilipatkan pembantu Awalnya kesulitan tetapi akhirnya bisa mandiri walaupun lama
Mengambil makanan sendiri di meja Selalu dilayani nenek Mengambil makanan sendiri sesuai keinginan
Mencuci piring Dicucikan pembantu Awalnya gagal, tetapi akhirnya bisa mencuci sendiri
Mengancingkan baju Kadang sendiri tapi sering dibantu nenek karena sering tidak pas Mampu mengancingkan/merapikan baju sendiri
Mampu bergerak dan berpindah tempat secara mandiri Berpindah dari kursi roda ke sofa Sering dibantu oleh kakek / nenek Bisa berpindah sendiri
Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur Kadang sendiri tapi lebih sering dibantu Mampu berpindah dari kursi roda ke tempat tidur secara mandiri
Berpindah dari kasur ke kursi roda Dibantu oleh kakek / nenek Sudah melakukan sendiri walaupun butuh waktu cukup lama
Berpindah dari kursi roda ke mobil/kendaraan Dibantu oleh kakek / nenek Mampu melakukan sendiri walaupun awalnya gagal
Table 3.Tingkat keberhasilan intervensi

Setelah dilakukan intervensi, didapatkan hasil bahwa subyek sebenarnya mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Hanya saja subyek tidak mendapat kesempatan melakukannya karena kekhawatiran dari keluarganya yaitu nenek subyek. Hal ini membuat subyek merasa tidak mampu dan tidak berdaya. Keberhasilan intervensi didapat karena subyek kooperatif baik saat penentuan aktifitas, latihan dan pelaksanaan. Selain itu, motivasi subyek untuk dapat mandiri juga memiliki peran yang penting dalam intervensi ini.

Pada awal-awal intervensi ada beberapa aktivitas yang gagal dilakukan subyek secara mandiri. Hal ini dikarenakan nenek yang masih merasa iba dan kurang percaya pada kemampuan subyek sehingga memberikan bantuan kepada subyek. Namun setelah mendapat arahan dari peneliti, akhirnya nenek mampu percaya bahwa subyek bisa dan membiarkan subyek berusaha walaupun dengan waktu yang cukup lama, tetapi tetap diawasi nenek subyek. Kegagalan 2 indikator pada intervensi di hari ke 3 juga disebabkan oleh kondisi fisik subyek yang saat itu merasa lelah karena mengikuti aktifitas di sekolah yang cukup padat.

Berdasarkan hasil penelitian, kemampuan subyek dalam memaksimalkan penggunaan tangan dan bergerak untuk melakukan aktivitas sehari-hari mengalami peningkatan setelah diberikan intervensi menggunakan teknik shaping. Hal ini sejalan dengan langkah-langkah perbaikan tingkah laku menggunakan teknik shaping menurut Hardiyanti, AM, Huda (2017) yaitu setiap langkah kegiatan dimulai dengan langkah-langkah kecil. Jika langkah yang sudah dicapai hilang, maka pengulangan dimulai dengan langkah awal. Sehingga dengan menggunakan teknik shaping subyek lebih mandiri dalam melakukan kegiatan sederhana yang telah diajarkan. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kaur & Kumar (2015) bahwa teknik shaping merupakan teknik yang dapat digunakan untuk mengajarkan berbagai kegiatan dan keterampilan termasuk melakukan aktivitas sederhana sehari-hari yang meliputi makan, berpakaian, mandi dan bergerak untuk bersosialisasi sehingga membuat seseorang menjadi lebih mandiri.

K ESIMPULAN

Latihan pembentukan perilaku dengan teknik shaping yang diberikan pada remaja cerebral palsy diplegia efektif meningkatkan kemandirian terutama dalam melakukan aktivitas sederhana sehari-hari seperti mengoptimalkan fungsi tangan dan kemampuan bergerak atau berpindah tempat. Selain itu kepercayaan keluarga kepada subyek juga dibutuhkan agar subyek dapat melakukan kegiatan dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.

U CAPAN T ERIMA K ASIH

Penelitian ini merupakan hasil tugas praktek kerja profesi psikologi saat peneliti menempuh pendidikan Magister Profesi Psikologi Klinis di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. oleh karena itu, terima ksih tak terhingga diberikan kepada Dr. IGAA Noviekayatie, M.Si, Psikolog sebagai dosen pembimbing.

References

  1. Afinia Sandhya Rini, Activity of Daily Living (ADL) Untuk Meningkatkan Kemampuan Rawat Diri Pada Pasien Skizofrenia Tipe Paranoid, Dinamika Penelitian, Vol. 16, No 2, 2016.
  2. Kaur, G & Kumar M, Effect of Stimulus Shaping and Prompting in Developing Dressing Skills in Trainable Mentally Challenged Children among Age Group of 6-12 Years, International Journal of Science and Research (IJSR), Vol. 4, No. 9, 2015.
  3. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010.