Articles
DOI: 10.21070/icecrs2020542

Resilience Dynamics of Mothers Who Have Children with Cerebral Palcy


Dinamika Resiliensi Ibu Yang Memiliki Anak Cerebral Palcy

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
resiliensi ibu yang memiliki anak cerebral palcy cerebral palcy

Abstract

Penelitian ini dilatar belakangi oleh fenomena ibu yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus yaitu cerebral palsy yang memiliki perasaan kecewa dan malu serta terpuruk dalam kehidupannya. Namun ada juga seorang ibu yang merasa kecewa tapi tetap mampu membuat anaknya mengalami perkembangan yang pesat dari mulai pendidikan sampai dengan kehidupan berumah tangga.Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran karakteristik dan faktor-faktor resiliensi ibu yang memiliki anak cerebral palcy. Variabel dalam penelitian ini adalah resiliensi dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif eksploratif dengan menggunakan dua subjek penelitian yaitu ibu yang memiliki anak cerebral palcy. Penentuan subjek dalam penelitian ini menggunakan teknik purposif sampling. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan catatn lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek penelitian telah memiliki resiliensi yang dilihat dengan munculnya aspek-aspek resiliensi antara lain inisiatif, insight, independent, hubungan, kreatifitas, humor dan moralitas. Selain itu ditemukan juga faktor pendukung yang mampu meningkatkan resiliensi yaitu faktor dukungan keluarga dan ketepatan mencari informasi.

I. Latar Belakang

Pada hakikatnya setiap keluarga memiliki harapan baik kepada calon bayi yang akan dilahirkan serta menginginkan keluarga yang sempurna. Harapanntersebut muncul sejak mengetahui kehamilan, berbagai usaha dilakukan orang tua untuk meraih harapannya memiliki anak yang berkembang lebih sempurna dan menjadi keluarga yang harmonis. Kenyataannya tidak semua anak lahir sesuai dengan harapan keluarga. kondisi keluarga menjadi berbeda ketika salah satu dari anggota keluarganya terlahir dengan berkebutuhan khusus [1]. Anak kebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental emosi atau fisik. Anak yang termasuk kelompok ini banyak jenisnya antara lain tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, dan anak dengan gangguan kesehatan. [2].

Salah satu jenis anak berkebutuhan khusus yang akan peneliti teliti adalah cerebral palsy atau biasanya disebut CP. Alasan peneliti tertarik dengan topik ini adalah masih jarangnya peneliti yang meneliti topik tersebut. Selain itu dampak dari CP yang akan disandang seumur hidup oleh penderita membuat peneliti ingin mengetahui lebih dalam topik tersebut. Menurut Reiuich dan Satte, (2002) resiliensi adalah kemampuan untuk tetap gigih walaupun keadaaan tidak berjalan dengan baik. Jackson menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaaan yang sulit. Sejumlah besar para ahli Psikologi menyadari betapa individu (anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa) yang hidup pada era modern sekarang ini, semakin membutuhkan kemampuan resiliensi, untuk mampu bertahan dalam situasi yang stressfull, namun tidak berarti bahwa resiliensi merupakan suatu sifat melainkan lebih merupakan suatu proses.

Resiliensi dianggap sebagai kekuatan besar yang menjadi pondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis seseorang. Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada keberanian dan ketekunan [3]. Sejumlah riset yang telah dilakukan meyakinkan bahwa gaya berpikir seseorang sangat ditentukan oleh resiliensinya dan resiliensi juga menemtukan keberhasilan seseorang dalam hidupnya.

Resiliensi terbentuk dariminteraksi antar faktor-faktor resiko dengan faktor-faktor protektif. Menurut Windle (Kalil, 2003) faktor resiko adalah segala sesuatu yang berpotensi untuk menimbulkan persoalan atau kesulitan, sedangkan faktorrprotektif adalah hal-hal yang memperkuat individu individu dalammmenghadapi faktor resiko. Adaptasi yang baik dan berhasil terhadap sesuatu permasalahannmencerminkan kuatnya pengaruh faktor protektif yang dimiliki. Salahhsatu faktor protektif yaitu faktor keluarga. Dimana pola asuh dari keluarga yang kondusiffdapat membuat individu dapat beresilien dengan baik.

II. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2007) adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah. Subjek penelitian ini adalah Ibu yang memiliki anak Cerebral Palcy sebanyak 2 orang. Selain itu juga dilakukan wawancara kepada signifikan other untuk menggali trianggulasi sumber, dimana pada subjek 1 adalah suami dan subjek 2 adalah Ibu subjek. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Adapun teknik pengumpulan data meggunakan wawancara semi terstruktur yang mengacu pada aspek-aspek serta faktor resiliensi. Analisis dataabersifat induktif dan hasil penelitian lebih menekankan pada makna.

III. Metode Penelitian

Hasil Penelitian

Karakter Subjek I (MG) Subjek II (MP)
Inisiatif Subjek memeriksakan anaknya ke dokter dan mencari tempat terapi. Subjek juga melakukan pengobatan medis maupun non medis untuk kemajuan putranya. Subjek juga terus mencari informasi yang tepat untuk perkembangan anaknya.
Insight Subjek berusaha memahami keadaan anaknya. SubjekIIjugamencoba memahami keadaan putranya.
Independen Subjek dapat mengatasi pernyataan negatif yang ditujukan ke anaknya. Subjek menunjukkan pada orang-orang sekitar kalau putranya bisa untuk melakukan aktivitas seperti anak lainnya.
Hubungan Hubungan subjek dengan keluarga baik dan keluarga juga mendukung apa yang Hubungan subjek dengan orang-orang sekitar baik, terutamakeluarga.Keluarganya pun mendukung
Table 1.Matriks Karakteristik Resiliensi Subjek
subjek lakukan. apapun yang dilakukan subjek untuk kemajuan putranya.
Humor Tidak menyukai humor Bukan orang yang humoris dan jarang membaca buku tentang humor.
Kreatifitas Subjek sering mengajak anaknya untuk bermain diluar rumah seperti anak yang lain. Subjek sering mengajak jala- jalan putranya untuk mengunjungi tempat-tempat yang diinginkan putranya.
Moralitas Subjek menetapkan aturan yang harus dipatuhi dan sabar dengan kondisi yang ada. Subjek menetapkan aturan yang harus dipatuhi dan bersyukur dengan kondisi yang terjadi.
Table 2.

Keunikan yang muncul Subjek I (MG) Subjek II (MP)
Kesabaran Kesabaran dalam diri Subjek I dapat menjadi salah satu faktor penting dalam beresilien.Subjek tersebut sabar dan telaten untuk membimbing putranya agar putranya bisa menjadi anak yang pada umumnya meskipun memiliki keterbatasan Subjek II dalam penelitian ini juga memiliki kesabaran yang besar ketika anaknya divonis CP oleh dokter. meskipun pada walnya subjek merasa terpuruk, tetapi pada akhirnya subjek bisa bangkitt kembali dan berjuang agar anaknya bisa berkembang seperti seharusnya.
Dukungan keluarga Subjek I mengakui adanya dukungan keluarga sangatlah membantu dalam prosesnya beresilien.Dukungan dari keluarga subjek berupa memberikan informasi tempat terapi yang bagus. Ssubjek II juga mengakui dengan adanya dukungan keluarga dapat membuat subjek bisa bangkit dari keterpurukan. Dukungan dari keluarga subjek berupa memberikan informasi tempat terapi yang bagus. Terkadang keluarga ikut mengantarkan ke tempat terapi untuk mengetahui sejauh mana perkembangannya.
Keaktifan mengakses informasi Subjek termasuk memiliki yang memiliki wawasan yang luas. Ketika putranya divonis CP, subjek tidak pernah menyerah untuk mencari informasi yang bagus untuk perkembangan putranya. Subjek termasuk orang yang gerak cepat dalam mencari informasi. Keaktifan subjek dalam mengakses informasi akhirnya membuat subjek lebih bersemangat untuk mengembangkan kemampuan putranya baik dengan metode dokter atau terapi.
Table 3. Faktor Resiliensi Yang Mempengaruhi Subjek

Pembahasan

Memiliki anak yang normal merupakan suatu kebanggan tersendiri bagi setiap orangtua terutama ibu yang melahirkan anak tersebut. akan tetapi tidak dengan ibu yang memiliki anak “istimewa” salah satunya cerebral palcy atau lebih sering disebut CP. Memiliki anak CP membuat ibu mau tidak mau harus bias

mengatasi semua keterbatasan yang dimiliki anaknya. Kedua subjek dalam penelitian ini awalnya merasa sedih dan malu ketika anak mereka divonis CP oleh dokter. Ditambah lingkungan sekitar yang masih awam dengan penyakit tersebut membuat kedua subjek menjadi down ketika ada yang membicarakan buruk tentang anak mereka. Seiring berjalannya waktu, kedua subjek yang terlibat dalam penelitian ini masing-masing menunjukkan karakteristik, bentuk dan faktor resiliensinya. Subjek memiliki inisiatif untuk memeriksakan putranya ke rumah sakit serta mencari tempat terapi yang cocok untuk putranya. Subjek berharap anaknya bisa berkembang seperti anak-anak yang lain meski memiliki keterbatasan. Individu yang memiliki inisiatif merupakan individu yang memiliki keinginan yang kuat dan dapat bertanggung jawab dengan keinginannya tersebut Wollins [4].

Menurut Wolin [4] Seseorang dapat dikatakan mampu resilien ketika mampu menjauhkan diri dari keadaan yang buruk. Subjek dalam penelitian ini juga termasuk orang punya wawasan cukup luas untuk dapat memahami keadaan anaknya. Dalam hal ini mampu menunjukkan pada lingkungan sekitar bahwa anak mereka mampu berkembang meski dengan keterbatasan yang dimilikinya. Pada aspek relationship menurut Wollins [4] mengatakan Individu yang resilien mampu mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, memiliki role model yang baik. Pada penelitian ini para subjek memiliki hubungan yang baik dengan suami dan keluarga. Subjek juga mengatakan bahwa semua keluarga ikut membantu subjek demi kemajuan putranya.

Pada aspek initiative menurut Wollins [4] Individu yang resilien yaitu keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab terhadap hidupnya. Kedua subjek dalam penelitian ini memiliki initiative yang kuat untuk dirinya sendiri dan untuk mengembangkan potensi putranya dengan membawa tempatnya ke tempat terapi. Pada aspek creativity menurut Wollins [4] yaitu kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Kreatifitas melibatkan memikirkan berbagai pilihan dan konsekuensi dalam hidup. Subjek dalam penelitian ini sering mengajak bermain putranya keluar rumah untuk mengembangkan kemampuan putranya dan supaya tidak jenuh bermain dirumah.

Pada aspek humor menurut Wollins [4] adalah kemampuan individu untuk mengurangi beban hidup dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Seseorang dapat dikatakan mampu resilien ketika mampu menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Subjek dalam penelitian ini meskipun jarang membaca buku tentang humor, tetapi mereka tetap bahagia dan tetap bisa bercanda dengan anak dan keluarga. Pada aspek morality menurut Wollins [4] adalah kemampuan individu untuk berperilaku atas dasar hati nuraninya. Individu dapat memberikan kontribusinya dan membantu orang yang membutuhkan. Seseorang yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat. Di dalam rumah subjek juga menerapkan aturan- aturan yang harus dipatuhi putranya. Tentunya peraturan itu dibuat agar putra mereka dapat menjadi pribadi yang baik dan peraturan tersebut dibuat dengan penggunaan bahasa yang mudah dipahami oleh anak. Windle (dalam Kalil, 2013) menyebutkan bahwa seseorang yang resilien mampu menjalin hubungan dengan oranglain dan saling mendukung dengan lingkungannya. Tidak hanya dengan keluarga, subjek juga memiliki hubungan baik dengan tetangga.

Resiliensi juga terbentuk dari interaksi antara faktor-faktor resiko dengan faktor protektif menurut Windle (dalam Kalil, 2013). Faktor protektif yang mumcul pada penelitian ini adalah kesabaran, keikhlasan, keluarga komunikatif, dukungan dari keluarga dan keaktifan mengakses informasi. Seseorang yang resilien dapat menerima takdir dengan mengutamakan kesabaran dan keikhlasan namun tetap percaya bahwa semua ini sudah menjadi kehendak. Selain itu subjek juga mampu menerima keadaan anaknya. Faktor keluarga komunikatif juga sangat mendukung seseorang untuk beresilien. Subjek dalam penelitian ini selalu mendiskusikan tentang perkembangan putranya dengan suami dan keluarga besarnya. Kedua subjek memiliki memiliki bentuk resiliensi yang hampir sama yaitu dukungan penuh dari suami dan keluarga membuat subjek lebih cepat bangkit dari keterpurukan dan menemukan solusi untuk masalah anaknya.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan oleh peneliti, maka kedua subjek penelitian telah memenuhi kriteria yang ada dan sesuai aspek-aspek resiliensi yaitu, memiliki wawasan untuk menyikapi masa lalu, mampu mengatur emosi, mampu membina hubungan dengan keluarga, mempunyai keinginan untuk bangkit dari keterpurukan, mampu membuat pilihan dalam hidupnya, mampu menghibur dirinya sendiri dan mampu menanamkan norma yang baik dalam dirinya sendiri maupun orang lain. Selain sesuai dengan aspek resiliensi, ternyata faktor pendukung dari penelitian ini adalah kesabaran, dukungan keluarga dan keaktifan mencari informasi dapat membantu subjek lebih cepat untuk bangkit dari keadaan. Sebelum menjadi individu yang resilien, kedua subjek merasa sedih dan kecewa saat anaknya harus di diagnosa dokter menderita cerebral palcy.

References

  1. Semiawan, dan Manungsong. (2010). Keluarbiasaan Ganda. Jakarta: Kencana Prenada.
  2. Ambarsari, R. Y. (2014). Pengaruh Model Problem Based Learning dan Cooperative Tipe Think Pair Share terhadap Prestasi Belajar IPA ditinjau dari Minat Siswa Kelas V SD Kecamatan Bulukerto Tahun. 1(1).
  3. Desmita. (2012). Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  4. Setyowati, dkk. (2010). Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Resiliensi Pada Siswa Penghuni RUmah Damai. Jurnal Psikologi Volune 7 Nomor 1.