Abstract

Addiction to gadgets refers to the loss of control, obsessive behavior, interpersonal problems, lack of tolerance, signs of antisocial which lead to dependency on gadgets. The intervention in this research was administered is to reduce the addiction to gadgets by promoting children to play without using gadgets. This research was conducted in a single-subject design with three phases, namely the base line phasein which several behaviors were determined to be intervened, intervention phase and finally the baseline evaluation phase. Research data were collected through interviews (autoanamnesa and alloanamnesa), observation and psychological tests including Forer, CAT, and HTP. The subject of this research was a 5-year-old girls who suffered from gadget addiction. The intervention was carried out in three stages for 20 days, each of which lasted for 2 hours. In the first stage, rapport and therapeutic contracts were administered and play therapy without using gadgets was done, and rewards were given when the subject successfully did the task. The last stage was the termination of all activities that had been carried out. The interventions carried out in this research showed significant behavioral changes. Before the intervention, the subject spent 6-7 hours per day to play gadgets. The subject always cried when going to school and was less interested in playing games with his friends. After the intervention, the subject started to do her daily activities with lesser screen time and longer time to play with friends without gadgets. The subject also started to get ready for school  every morning.

Pendahuluan

Anak-anak jaman sekarang terlahir di era teknologi digital, bermain komputer dan gadget merupakan hal yang umum terjadi di era ini. Sejak balita anak sudah terbiasa menggunakan gadget untuk bermain, seperti menonton youtube dan bermain game lainnya. Sama halnya yang terjadi pada subjek penelitian, hampir sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bermain gadget ia juga mulai melupakan tanggung jawabnya karena kecandungan gadget, hal tersebut terjadi karena sibuknya kegiatan orang tua sehingga kurang memiliki waktu untuk bermain bersama anak. Cara instan yang dapat dilkakukan orang tua adalah mengenalkan aplikasi-aplikasi gadget yang dapat menarik perhatian anak, seperti game, youtube dan sebagainya. Dampak pada anak adalah menjadi ketergantungan pada gadget dan meninggalkan berbagai jenis permainan yang tidak melibatkan gadget. Kecanduan gadget atau smartphone itu sendiri diartikan sebagai hilangnya daya kontrol, menjadi lebih obsesif, adanya permasalahan secara interpersonal, kurangnya sikap toleransi, adanya gejala dari penarikan diri, sehingga menjadi ketergantungan terhadap smartphone (Park & Park, 2014).

Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan uswitch.com menunjukkan bahwa lebih dari 25% anak-anak di seluruh dunia mempunyai gadget sebelum usia mereka genap 8 tahun. Satu dari tiga anak mulai menggunakan smartphone ketika berumur 3 tahun dan satu dari sepuluh anak menikmati gadget dalam usia yang lebih muda yaitu 2 tahun (Murdaningsih & Faqih, 2014). Beberapa orangtua mulai mengeluhkan dampak gadget pada perubahan sikap anak mereka. Anak menjadi sulit konsentrasi, malas belajar, menurunnya prestasi, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan sosial dan masih banyak lagi. Dikutip dari tribunnews (29/03/2017) tokoh psikolog anak, tika bisono menyampaikan bahwa anak yang mulai kecanduan smartphone/gadget akan berperilaku yang tidak terkontrol, tidak mampu mengendalikan emosi dan kesulitan konsentrasi, bila tidak segera ditangani maka anak akan mengalami gangguan baik secara fisik maupun psikis. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Suler (2004) bahwa penggunaan smartphone secara berlebihan dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari secara negatif, termasuk menurunnya prestasi belajar dan fungsi sosial. Semakin berkembangnya teknologi membuat anak melupakan permainan-permainan tanpa melibatkan gadget.

Berdasarkan hal tersebut tentu diperlukan intervensi dalam mengatasinya. Salah satu intervensi yang dilakukan adalah dengan terapi bermain. Terapi bermain menurut Landreth (2001) berpendapat bahwa bermain sebagai terapi merupakan salah satu sarana yang digunakan dalam membantu anak mengatasi masalahnya, sebab bagi anak bermain adalah simbol verbalisasi. Terapi bermain dapat dilakukan didalam ataupun diluar ruangan. Terapi yang dilakukan didalam ruangan sebaiknya dipersiapkan dengan baik terutama dengan alat-alat permainan yang akan digunakan. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa terapi bermain adalah terapi yang menggunakan alat-alat permainan dalam situasi yang sudah dipersiapkan untuk membantu anak mengekspresikan perasaannya, baik senang, sedih, marah, dendam, tertekan, atau emosi yang lain. Terapi bermain diyakini mampu menghilangkan batasan, hambatan dalam diri, kecemasan, frustasi serta mempunyai masalah emosi dengan tujuan mengubah tingkah laku anak yang tidak sesuai menjadi tingkah laku yang diharapkan dan anak sering diajak bermain akan lebih kooperatif dan mudah diajak kerjasama ketika menjalani pengobatan (Nurjaman, 2006 dalam Noverita, 2017). Selain terapi bermain, positive reinforcement berupa reward juga menjadi salah satu bentuk penguatan yang diberikan pada anak untuk meningkatkan kegiatan bermain tanpa melibatkan gadget. Skinner mengatakan penguatan atau reinforcement sebagai sebuah akibat perilaku yang kemungkinan meningkatkan respon yang akan diulangi seterusnya. Reward ialah alat untuk mendidik anak-anak supaya anak dapat merasa senang karena perubahan atau pekerjaannya mendapat penghargaan (Purwanto, 2011 dalam Amliah, 2017). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menyatakan bahwa penguatan dalam berbagai cara dapat meningkatkan frekuensi perilaku (McHugh, Lenz, Reardon, & Peterson, 2012).

Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan single subject design dengan pemberian terapi bermain dan positive reinforcement. Subjek dalam penelitian ini adalah anak perempuan berusia 5 tahun dan di diagnosa mengalami kecanduan gadget. Desain subjek tunggal (single subject design) terdiri dari tiga tahap. Tahap awal yaitu fase baseline adalah menentukan target atau perilaku yang akan di intervensi menggunakan metode wawancara (autoanamnesa dan alloanamnesa), observasi dan tes psikologi yaitu Forer, Children Apperception Test (CAT), dan House Tree Person (HTP) dalam mengumpulkan datanya. Data yang telah dikumpulkan peneliti akan menjadi dasar dalam membuat diagnosa dan menentukan intervensi yang tepat untuk subjek. Kemudian, tahap kedua fase intervensi yaitu, pemberian treatment dimana penerapan tehnik intervensi dilakukan. Jenis intervensi terapi yang diberikan adalah behavior therapy dengan teknik terapi bermain dan positive reinforcement.

Pada tahap ini, subjek melakukan terapi bermain solitary tanpa melibatkan gadget selama proses terapi. Ada beberapa jenis permainan yang dilakukan selama proses terapi, seperti bermain full set barbie fashion clothes, bermain plastisin, masak-masakan dengan kicthen set anak, bermain lego, bermain dokter-dokteran dengan mainan anak dokter playset, membuat kolase kertas krep. Subjek akan mendapatkan reward yang telah disepakati bersama ketika berhasil melakukan proses terapi tanpa meminta gadget. Reward diberikan secara interval, yaitu hari ke 2 sampai 6 subjek setiap hari akan mendapatkan reward ketika berhasil mengikuti proses terapi, hari ke 7 sampai 12 subjek mendapat reward 3 hari sekali ketika berhasil mengikuti semua proses terapi dan hari ke 13 sampai 20 subjek hanya mendapat satu reward dalam 7 hari. Reward yang diberikan berupa perlengkapan sekolah dan mainan yang memiliki harga dibawah 20 ribu. Secara keseluruhan terapi dilakukan selama 20 hari dan terdiri dari tiga tahap, yaitu : 1. Tahap pertama yang dilakukan adalah pembangunan rapport dan melakukan kontrak terapi. Tahap pertama dilakukan selama 2 jam dalam satu kali pertemuan atau satu sesi, tujuannya subjek mampu bertanggung jawab dan konsisten dengan apa yang telah disepakati sehingga perilaku perilaku dapat berubah sesuai dengan yang diharapkan. 2. Tahap kedua dilakukan selama 18 hari dan setiap harinya subjek akan melakukan terapi selama 2 jam. Pada tahap ini subjek melakukan terapi bermain solitary tanpa melibatkan gadget dengan tujuan terbiasa melakukan kegiatan atau aktivitas lain dan menghilangkan kebiasaan menggunakan gadget. 3. Tahap terakhir adalah terminasi dari seluruh kegiatan yang dilakukan. Setelah diberikan treatment atau terapi, fase terakhir adalah baseline evaluasi yang merupakan tindak lanjut dari tehnik intervensi. Tahap evaluasi ini untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menghambat jalannya proses terapi yang dilakukan, serta melihat apakah subjek dapat mempertahankan perilaku yang sudah diintervensi dengan baik.

Hasil dan Pembahasan

Hasil

Sebelum Terapi Sesudah Terapi
Setelah dilakukan observasi pada subjek dan wawancara dengan orang tua serta guru, didapatkan hasil sebagai berikut : · Subjek tidak memainakan permainan selain gadget lebih dari 2 jam perhari. Subjek juga melupakan semua aktivitasnya jika sudah bermain gadget. · Subjek menghabiskan 6 sampai 7 jam perhari untuk bermain gadget. · Subjek tidak mau berangkat sekolah dan tidak mau melakukan permainan lain selain di gadget dengan alasan ia bosan memainkan permainan yang sama setiap harinya. · Subjek jarang bermain dengan teman-temannya. Subjek akan menangis dan bergulig-guling di lantai bila orang tuanya mengambil paksa gadget tersebut Setelah melakukan tahap-tahap intervensi di atas, didapatkan hasil : · Intensitas subjek dalam bermain gadget sangat berkurang. Subjek bermain gadget tidak lebih dari 2 jam dalam sehari. · Subjek menjadi semangat sekolah setiap paginya karena ia merasa banyak memiliki teman yang akan di ajak bermain. Awal terapi subjek masih menangis meminta bermain gadget, namun setelah sesi ke 4 subjek lebih memilih bermain tanpa melibatkan gadget dan intensitas bermain gadgetnya sangat berkurang. Setelah sesi intervensi berakhir, Subjek juga membuat kesepakatan dengan ibunya hanya boleh memainkan gadget 2 jam dalam sehari. Meskipun beberapa kali merengek namun subjek mulai mematuhi perjanjian yang disepakati.
Table 1.Hasil Penelitian

Pembahasan

Ciri-ciri yang dimiliki subjek sebelum proses terapi atau intervensi sesuai dengan ciri-ciri anak yang mengalami kecanduan gadget atau smartphone menurut Wulansari (2017), yaitu : (1) penggunaan smartphone/gadget secara terus-menerus dan disertai kurangnya minat untuk bersosialisasi, (2) menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk menggunakan smartphone/gadget, (3) melakukan protes atas segala pembatasan dan aturan menggunakan smartphone/gadget, (4) selalu meminta diberikan smartphone/gadget, jika tidak diberi maka anak akan mengamuk, (5) tidak mau terlalu lama beraktivitas diluar rumah, misalnya: minta pulang lebih cepat agar bisa bermain game dirumah, dan (6) menolak melakukan rutinitas sehari-hari dan lebih memilih bermain smartphone/gadget, seperti tidak mau disuruh orangtua untuk mandi atau tidur. Menurut pedoman diagnostic DSM V harus ada sedikitnya 5 gejala berikut ini yang terjadi selama 12 bulan untuk menetapkan diagnosa kecanduan gadget, internet atau gaming, yaitu : 1. Keasyikan dengan permainan internet. Individu berpikir tentang permainan sebelumnya atau mengantisipasi permainan selanjutnya, internet gaming menjadi aktivitas utama sehari-hari; 2. Toleransi, kebutuhan untuk menambah jumlah waktu untuk bermaian internet. 3. Usaha gagal untuk mengontrol keterlibatan diri di dalam internet gaming; 4. Kehilangan ketertarikan terhadap hobi dan kesenangan sebelumnya kecuali internet gaming. 5. Berkelanjutan secara berlebihan menggunakan internet gaming meskipun mengetahui dampak psikososial yang ditimbulkan; 6. Menggunakan internet gaming untuk melarikan diri dari mood negatif (seperti merasa tidak berdaya, bersalah, dan cemas). 7. Memiliki hubungan yang membahayakan atau hampir kehilangan, pekerjaan, atau kesempatan karir karena keterlibatannya dalam internet gaming.

Berdasarkan hasil pemberian intervensi melalui terapi bermain dan positive reinforcement diperoleh hasil bahwa subjek dapat melakukan aktivitas sehari-harinya dengan meminimalisir penggunaan gadget. Saat ini subjek hanya memainkan gadget 2 jam per hari, intensitas tersebut jauh berbeda jika dibandingkan sebelum dilakukan intervensi. Subjek sesekali mengeluh ketika jatah bermain gadgetnya habis, namun ia mulai mematuhi perjanjian yang telah disepakati. Perbedaan yang terlihat juga sebelum dan sesudah intervensi yaitu pada sikap bersosialisasinya. Awalnya subjek selalu menangis sebelum berangkat sekolah dan ia juga jarang bermain bersama teman-temannya, namun setelah intervensi ia cenderung semangat sekolah dan menantikan bermain bersama teman-temannya.

Penelitian-penelitian sebelumnya yang serupa dilakukan oleh Wahyuningsih dalam jurnal “ EFEKTIVITAS TERAPI BERMAIN UNTUK MENGURANGI PENGGUNAAN SMARTPHONE YANG BERLEBIHAN PADA SISWA SEKOLAH DASAR”. Hasil yang didapat adalah terapi bermain dengan terapi permainan tradisional gobak sodor efektif untuk menurunkan kebiasaan penggunaan smartphone siswa. Penelitian lain yang dilakukan Hartini (2018) Hasil yang didapatkan adalah setelah dilakukan terapi bermain anak menjadi kooperatif selama dirawat dan kecemasan berkurang. Penelitian lain juga dilakukan oleh Alfiyanti, Hartiti Dan Samiasih Dengan Judul “ Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Tingkat Kecemasan Anak Usia Prasekolah Selama Tindakan Keperawatan Diruang Lukman Rumah Sakit Roemani Semarang”, didapatkan hasil terapi bermain berpengaruh terhadap tingkat kecemasan anak usia prasekolah selama tindakan keperawatan.

Selain terapi bermain, positif reinforcement juga sangat membantu dalam keberhasilan intervensi yang dilakukan pada subjek. Subjek menjadi lebih semangat karena kerja kerasnya tidak bermain gadget selama proses terapi mendapat reward berupa barang yang ia sukai. Dari hasil terapi dapat diketahui bahwa pemberian penguat positif dapat membentuk perilaku yang diinginkan. Penguatan mengacu pada bentuk penguatan yang dimunculkan secara kontinyu setelah terjadinya perilaku yang diinginkan (Swapnha dan Sudir, 2016). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Maharani (2019) Berdasarkan hasil intervensi dengan menggunakan positif reinforcement, telah berhasil meningkatkan perilaku disiplin anak dengan gangguan disabilitas intelektual. Anak yang semula tidak disiplin masuk kelas, dalam hal ini selalu terlambat sedikit demi sedikit mulai mengalami perubahan setelah mendengarkan bunyi bel anak mulai berjalan masuk kelas. Simonsen dkk. (2008) juga percaya bahwa menggunakan strategi penguatan untuk mengatasi perilaku tertentu atau untuk memotivasi siswa dapat menjadi cara yang sederhana dan efektif untuk re-energize siswa.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil di atas dapat disimpulkan bahwa terapi bermain dan positive reinforcement efektif untuk menurunkan intensitas penggunaan gadget pada anak. Hal ini dapat diketahui dari perubahan tingkah laku sebelum dan sesudah dilakukan intervensi serta dari hasil wawancara dengan orang tua dan guru subjek. Intensitas subjek dalam bermain gadget sangat berkurang, awalnya subjek bermain gadget 6-7 jam per hari, setelah intervensi ia bermain gadget hanya 2 jam per hari. Hal lain yang juga terlihat adalah keinginan subjek untuk bersosialisasi. Subjek mau berangkat sekolah dengan tenang tanpa menangis meminta gadget dan banyak memiliki teman untuk memaikan permainan tanpa melibatkan gadget. Faktor penghambat yang ditemui praktikan adalah subjek mudah merasa bosan jika hanya memainkan satu jenis permainan dalam beberapa kali terapi, sehingga peneliti dan orang tua harus kreatif menyiapkan bentuk-bentuk dan berbagai jenis permainan yang baru, sehingga subjek tidak bosan pada permainan tanpa melibatkan gadget.

Ucapan Terimkasih

Ucapan terima kasih diberikan kepada seluruh pihak yang berkontribusi pada penulisan artikel ini. Terimakasih kepada Dra. Tatik Meiyutariningsih, M.Kes., Psikolog selaku dosen pembimbing. Dyan Evita Santi, S.Psi.,Msi Selaku dosen mata kuliah teknik penulisan karya ilmiah

References

  1. Noverita, Mulyadi dan Mudatsir, Terapi Bermain Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Anak Usia 3–5 Tahun Yang Berobat Di Puskesmas, Jurnal Ilmu Keperawatan (2017) 5:2. Available : www.jurnal.unsyiah.ac.id
  2. Hartini, Winarsih, Sulistyawati. vol 1, no 1, tahun 2018. Terapi Bermain Pada Anak Pra-Sekolah Untuk Menurunkan Tingkat Kecemasan Saat Hospitalisasi Di Rsud Kudus, Available : http://jpk.jurnal.stikescendekiautamakudus.ac.id/index.php/jpk/article/view/7
  3. Maharani, Teknik Positive Reinforcement Untuk Meningkatkan Perilaku Disiplin Masuk Kelas Pada Anak Dengan Gangguan Disabilitas Intelektual, tahun 2019. Available : http://fppsi.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/07/11-TEKNIK-POSITIVE-REINFORCEMENT-UNTUK-MENINGKATKAN-PERILAKU-DISIPLIN-MASUK-KELAS-PADA-87-92.pdf