Articles

Factors That Cause Work Engagement in the Millennial Performance in BUMN


Faktor-Faktor Penyebab Work Engagement pada Angkatan Kerja Millennial di BUMN

Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Indonesia
work-engaged millenial BUMN

Abstract

Various research results reinforce the importance of having human resources engaged in their work. Employees who are engaged in their work will benefit both in terms of individuals, groups and organizations. In fact, the level of employee engagement in Indonesia is relatively low. Even the level of work engagement in the millennial workforce is at the lowest level. This study aims to determine the factors that influence the work engagement of millennial employees in BUMN. Participants consist of 3 BUMN's employees, male and have a working period of between 5 and 15 years. Data obtained through semi-structured interviews and analyzed qualitatively. The results of this study indicate that work engagement in the millennial workforce is sourced from job resources and personal resources. Job resources include work environment, family atmosphere, career opportunities, rewards, valuable experiences and challenges; while personal resources include self efficacy. The millennial workforce also does job crafting by integrating their lives with their work.

Pendahuluan

Selama dua dekade terakhir, jumlah studi tentang work engagement telah meningkat dengan cepat. Berbagai hasil penelitian makin menguatkan pentingnya memiliki sumber daya manusia yang engaged dengan pekerjaannya. Work engagement diartikan sebagai sebagai suatu keadaan positif, keadaan pikiran yang selalu terhubung dengan pekerjaan, dan pemenuhan diri yang ditandai dengan adanya semangat, dedikasi dan absorbsi [1]. Work engagement memiliki dampak yang positif terhadap organisasi, seperti pendapat yang dikemukakan oleh Schaufeli dan Bakker [1] bahwa work engagement meningkatkan produktivitas organisasi, melalui peningkatan performa pekerjaan dan menurunkan intensi turnover. Karyawan yang engaged dengan pekerjaanya akan menunjukkan tingkat kreativitas yang tinggi, kinerja yang baik, berperilaku sebagai warga organisasi yang baik, dan menghasilkan peningkatan kepuasan konsumen [2].

Karyawan yang engaged lebih aktif, lebih positif daripada karyawan yang tidak enggad. Work engagement adalah suatu keadaan motivasi positif dan berenergi yang berhubungan dengan pekerjaan dan keinginan murni karyawan untuk mengontribusikan peran kerja dan kesuksesan organisasi. Karyawan yang terikat dengan pekerjaannya akan menunjukkan antusiasme, hasrat yang nyata menenai pekerjaannya dan untuk organisasi. Selain itu, karyawan juga akan menikmati pekerjaan yang dilakukannya dan berkeinginan untuk memberikan segala bantuan untuk dapat menyukseskan organisasi tempatnya bekerja. Jadi, seorang karyawan dikatakan engaged dengan pekerjaannya apabila karyawan tersebut dapat mengidentifikasikan diri secara psikologis dengan pekerjaannya, dan menganggap kinerjanya penting untuk dirinya, selain untuk organisasi [2]

Schaufeli dkk [3] membedakan engagement dari konstruk-konstruk peran pekerjaan lainnya, dimana daripada keadaan sesaat dan spesifik, engagement mengacu pada keadaan afektif, kognitif yang lebih menetap (persisten) dan menyeluruh, yang tidak hanya fokus pada objek, kejadian, individu atau perilaku tertentu. Definisi work engagement oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker ini, merupakan definisi yang lebih luas dan lebih sering digunakan dalam studi penelitian [4]. Selain itu, model work engagement Schaufeli dkk [3] memiliki dasar teori yang kuat dibandingkan teori engagement lain [5].

Mengacu pada pendapat Schaufeli dkk. [3], work engagement dalam penelitian ini didefinisikan sebagai keadaan motivasional yang positif, adanya pemenuhan diri dan pemikiran yang selalu terhubung dengan pekerjaan, yang dikarakteristikkan dengan adanya vigor (semangat), dedication (dedikasi), dan absorption (absorpsi). Work engagement lebih daripada keadaan sesaat dan spesifik, mengacu ke keadaan yang bergerak tetap meliputi aspek kognitif dan afektif yang tidak fokus pada objek, peristiwa, individu atau perilaku tertentu [3]. Work engagement adalah persetujuan yang kuat terhadap pelaksanaan pekerjaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan pekerjaan. Schaufeli dan Bakker, Rothbard [6] mendefinisikan engagement sebagai keterlibatan psikologis yang lebih lanjut melibatkan dua komponen penting, yaitu attention dan absorption. Attention mengacu pada ketersediaan kognitif dan total waktu yang digunakan seorang karyawan dalam memikirkan dan menjalankan perannya, sedangkan Absorption adalah memaknai peran dan mengacu pada intensitas seorang karyawan fokus terhadap peran dalam organisasi.

Secara umum rata-rata karyawan yang memiliki keterikatan kerja di wilayah Asia Pasifik menurun dari 60% di tahun 2009 menjadi 56% di tahun 2010. Penurunan tersebut merupakan kemunduran terbesar dalam 15 tahun terakhir [7]. Dari beberapa penelitian mengenai keterikatan hampir seragam memberikan gambaran bahwa masalah keterikatan kerja di dunia saat ini masih sangat tinggi. Isu keterikatan ini juga sudah mulai diperhatikan di Indonesia. Di samping pertumbuhan bisnis yang kuat di Indonesia, rupanya keterikatan (engagement) atau loyalitas dan kesungguhan dalam bekerja yang dimiliki di Indonesia juga sangat rendah. Hasil survei dari Southeast Asian Nation [8] menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam urutan terbawah. terkait mengenai engagement pada karyawan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hanya 8% dari karyawan Indonesia yang engaged terhadap pekerjaannya. Penelitian lainnya juga diadakan oleh Towers Watsons dalam Global Workforce Study [9], hasilnya terlihat hampir sama. Dua pertiga karyawan di Indonesia tidak memiliki keterikatan yang tinggi terhadap pekerjaannya.

Hal lain yang menarik perhatian dalam beberapa tahun ini Indonesia juga memasuki masa era bonus demografi dimana penduduk produktif atau yang saat ini disebut dengan generasi millenial memiliki jumlah yang lebih banyak dari generasi sebelumnya [10]. Generasi millenial sendiri dikenal dengan generasi yang memiliki kebiasaan kerja serta memiliki rasa optimis yang tinggi, fokus pada prestasi, percaya diri, percaya pada nilai-nilai moral dan sosial, serta menghargai adanya keragaman [11]. Generasi millenial adalah generasi terbesar dalam sejarah dengan sekitar 79,8 juta anggota, melebihi jumlah generasi Baby Boomers. Generasi millenial adalah generasi terbanyak yang masuk ke dalam dunia kerja. Masuknya generasi millenial ke dunia kerja menimbulkan konflik antar generasi yang signifikan. Generasi lain menganggap generasi millenial adalah generasi yang sulit dipahami dan memiliki stereotip tersendiri. Ada banyak kesalahpahaman tentang generasi millenial, Robert Half International melakukan studi bagaimana untuk merekrut dan mempertahankan karyawan generasi millenial.

Generasi millenial Indonesia memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut : 1. Para milenials bekerja bukan hanya sekedar untuk menerima gaji, tetapi juga untuk mengejar tujuan (sesuatu yang sudah dicitacitakan sebelumnya), 2. Milennials tidak terlalu mengejar kepuasan kerja, namun yang lebih milenials inginkan adalah kemungkinan berkembangnya diri mereka di dalam pekerjaan tersebut (mempelajari hal baru, skill baru, sudut padang baru, mengenal lebih banyak orang, mengambil kesempatan untuk berkembang, dan sebagainya) 3. Milennials tidak menginginkan atasan yang suka memerintah dan mengontrol 4. Milennials tidak menginginkan review tahunan, milenials menginginkan on going conversation 5. Milennials tidak terpikir untuk memperbaiki kekuranganya, milenials lebih berpikir untuk mengembangkan kelebihannya. 6. Bagi milennials, pekerjaan bukan hanya sekedar bekerja namun bekerja adalah bagian dari hidup mereka.

Teori Job Demand-Resources (JD-R) [2] adalah salah satu teori yang paling sering digunakan untuk menjelaskan work engagement. Teori ini menemukan bahwa terdapat beberapa prediktor dari work engagement yaitu job demands, job resources dan personal resources. Job demands diartikan sebagai derajat lingkungan pekerjaan dalam memberikan stimulus yang bersifat menuntut dan memerintah sehingga perlu diberikan respon. Sementara itu job resources diartikan sebagai aspek fisik, psikologis, sosial, dan organisasi pada pekerjaan. Lebih lanjut personal resources diartikan sebagai evaluasi diri positif yang terkait dengan ketahanan mental individu serta mengacu pula pada perasaan individu terhadap kemampuan dirinya untuk berhasil dalam mengontrol dan mempengaruhi lingkungannya [12].

Job resources mengacu pada aspek-aspek pekerjaan yang membantu dalam mencapai tujuan, mengurangi pekerjaanmenuntut, dan sering merangsang pertumbuhan dan perkembangan pribadi [13]. Job resources dapat berupa fisik, psikologis, sosial, atau organisasi, termasuk peralatan, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dukungan sosial dari kolega, dan waktu kerja yang fleksibel. Sumber daya pekerjaan secara intrinsik memotivasi karena memenuhi kebutuhan dasar manusia - kebutuhan untuk keterkaitan, kompetensi, dan otonomi. Sumber daya pekerjaan juga sangat memotivasi karena mereka membantu mencapai tujuan yang terkait dengan pekerjaan [14. Ketika pekerja memiliki akses ke banyak sumber daya pekerjaan, mereka mampu menghadapi tuntutan pekerjaan yang tinggi.

Selain itu, sumber daya pribadi dapat memainkan peran penting. Sumber daya pribadi mengacu pada kognisi atau keyakinan karyawan tentang kontrol yang mereka rasakan terhadap lingkungan mereka. Bukti penelitian menunjukkan bahwa karyawan lebih tinggi dalam keterlibatan kerja ketika mereka memiliki tingkat sumber daya pribadi yang lebih tinggi, termasuk self-efficacy, optimisme, dan ketahanan [15].

Hasil penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Christian et al. [14] menemukan bahwa prediktor paling penting bagi work engagement adalah job resources. Job resources meliputi variasi tugas, task significance, autonomy (kemandirian), umpan balik, dukungan sosial dari kolega, relasi yang berkualitas dengan supervisor, dan kepemimpinan transformasional. Hasil penelitian Hakanen [14] menemukan job resources yang terdiri dari variasi dari keterampilan yang dimiliki dan interaksi dengan sebaya menjadi paling penting untuk memelihara work engagement. Penelitian Bakker menemukan bahwa dukungan dari atasan, inovasi, penghargaan dan iklim organisasi merupakan bagian dari job resources yang paling berkontribusi dalam work engagement.

Adanya variasi pada hasil penelitian mengenai aspek-aspek dalam job resources yang menjadi prediktor work engagement, menunjukkan bahwa penting bagi manajemen untuk memahami secara lebih mendalam sehingga dapat melakukan intervensi yang tepat guna meningkatkan work engagement.

Tingkat work engagement angkatan kerja di Indonesia tergolong rendah. Penelitian mengenai work engagement telah banyak dilakukan di Indonesia, namun penelitian yang bertujuan untuk mengetahui aspek-aspek apakah dalam job resources yang paling penting dalam meningkatkan work engagement pada karyawan BUMN belum pernah dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek apakah yang paling berperan dalam job resourcess untuk meningkatkan work engagement.

Pertanyaan penelitian : faktor-faktor apakah yang menyebabkan angkatan kerja millenial di Indonesia engaged dengan pekerjaannya ?

Metode penelitian

Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah tiga orang karyawan BUMN dan telah memiliki bekerja sekurang-kurangnya tiga tahun. Data diperoleh dengan menggunakan metode wawancara dengan bantuan gawai. Pemilihan metode ini untuk mempertimbangkan fleksibilitas dalam hal waktu pengambilan data.

Instrumen

Data penelitian diperoleh melalui wawancara dengan semi terstruktur dengan menggunakan gawai. Pertanyaan yang diajukan mengacu pada konsep work engagement dengan indikator vigor (bersemangat), dedication (dedikasi) dan absorbsion (penyerapan). Partisipan diminta menjelaskan apa yang yang membuat mereka merasa bersemangat, apa yang membuat mereka berdedikasi dan apa yang membuat mereka dapat melakukan penyerapan pada pekerjaan mereka.

Hasil

Dari tujuh karyawan yang diundang sebagai partisipan, hanya tiga orang yang bersedia untuk diwawancarai. Ketiganya bekerja di BUMN, laki-laki, berusia antara 26 hingga 39 tahun dan telah memiliki masa kerja dengan rentang antara 3 hingga 15 tahun. Organisasi tempat kerja meliputi perusahaan perbankan, konstruksi dan perpajakan.

Faktor-faktor yang membuat kary awan engaged dengan pekerjaan.

Dari hasil wawancara dengan FIB, usia 29 tahun, seorang staf di departemen pengembangan sumber daya manusia, diperoleh informasi mengenai faktor penyebab karyawan engaged dengan pekerjaannya adalah job resources. Hal ini tampak dari jawaban FIB sebagai berikut :

Kalau ditanya apa yang membuat saya bersemangat dalam bekerja jawaban saya antara lain sebagai berikut ; 1. Lingkungan kerja yang nyaman dan rasa kekeluargaan yang membuat suasana kerja saya jadi lebih produktif dan harmonis.2. Career Hope, Jenjang karir yang di tawarkan oleh perusahaan cukup menjadi tantangan saya untuk bisa mencapainya satu demi satu, dan Allhamdulillah sampai detik ini masih sesuai dengan milestone yang sudah saya rencanakan. 3. Tantangan dalam hal pekerjaan yang menuntuk saya untuk belajar hal-hal baru dan mendapatkan fasilitas dari perusahaan dalam bentuk pengembangan diri saya seperti Workhsop, Training, Sertifikasi dan lain lain.

Penjelasan dari B, seorang kepala cabang bank, juga menunjukkan hal yang sejalan dengan informasi dari FIB ;

..hal-hal yang membuat bersemangat dalam bekerja bbrp diantaranya ; tantangan untuk tutup target dan bisa melampauinya, bertemu dengan relasi baru, hal baru ataupun case baru, suasana kerja yang kita bisa buat nyaman dan kondusif, remunerasi, bonus dan insentif tentunya…

Lingkungan kerja dalam hal ini mengacu pada ketersediaan peralatan yang mendukung kelancaran kerja karyawan. Selanjutnya, rasa kekeluargaan menunjukkan bahwa adanya social support yang diterima oleh karyawan. Kedua hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Demerouti et.al [13]. Adanya Career hope dan tantangan yang dirasakan oleh karyawan sesuai dengan hasil penelitian bahwa human resources practises dan job design membuat karyawan akan engaged dengan pekerjaannya.

Selain beberapa faktor tersebut di atas, ternyata terdapat faktor lain yaitu penghargaan dan pengalaman yang diberikan oleh organisasi terhadap karyawan. Hal tersebut nampak pada penjelasan FIB sebagai berikut :

Bisa mendapatkan apa yang saya dapatkan sekarang baik dari segi pengalaman dan finansial ini menjadi alasan saya untuk bisa terus berdedikasi dan kontribusi positif untuk kemajuan perusahaan, karena selama saya disini banyak pengalaman yang saya dapatkan dalam bentuk kesempatan belajar dan berkarya bahkan sampai ke luar negeri yang belum tentu semua karyawan dapatkan, sehingga ini juga yang menjadi dorongan rasa ingin berterimakasih ke perusahaan dalam bentuk pemberian dedikasi dan kontribusi positif.

Informasi sejalan juga diperoleh dari SA, yang menyampaikan bahwa adanya kesempatan untuk mengembangkan diri dan penghargaan dalam bentuk gaji yang dianggap memuaskan.

Temuan lain yang menguatkan bahwa karyawan yang engaged akan terlibat secara penuh, ditandai dengan adanya absorption yang kuat. Hal ini sesuai dengan pengalaman FIB sebagai berikut :

Kalau keterlibatan saya bisa katakan saya sangat terlibat karena selain sebagai HR saya mulai tahun 2017 dipilih sebagai Sekjen Agent Of Change perusahaan yang bertugas membantu perusahaan utk menginternaliasi Budaya Perusahaan ke seluruh karyawan dengan program2, dan di tahun 2018 saya pernah ditunjuk mewakili perusahaan utk jadi Duta Millenial di dalam acara besar BUMN Millenials Summit yang di dalamnya ada rencangan2 besar program sinergi sejak dini antar BUMN.

Pengalaman FIB mengenai keterlibatan dan prestasi yang diperoleh berpeluang untuk meningkatkan self efficacy. Pengalaman B mengenai keterlibatannya dalam menentukan target perusahaan dan keberhasilannya mencapai target meningkatkan self efficacy dan selanjutnya meningkatkan work engagement. Sesuai dengan hasil penelitian [15] self efficacy merupakan komponen dari personal resources yang dapat meningkatkan work engagement. Di sisi lain, job resources dapat mempengaruhi personal resources. Dalam hal ini, adanya penghargaan berupa finansial maupun kesempatan untuk mengembangkan diri juga berpeluang untuk meningkatkan self efficacy karyawan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bakker [16].

Work-Life integration sebagai bentuk job crafting

Temuan lain yang sesuai dengan ciri angkatan kerja millenial, bahwa pekerjaan bukan hanya sekedar bekerja namun bekerja adalah bagian dari hidup mereka. Mereka mencoba untuk mengintegrasikan antara kehidupan keluarga dan pekerjaan agar keduanya berjalan bersama. Bukan lagi seimbang, namun bahkan terintegrasi. Seperti hasil wawancara dengan FIB ;

……Kalau saya jam kerjanya malah sesuai aturan aja dan saya adalah orang yang paling anti lembur hehehe….. jadi jam 07.30 sampai jam 17.00 saya sudah selesaikan pekerjaan dan pulang karena waktu buat keluarga jauh lebih penting.Bahkan sekarang saya lagi mau jalankan program Kerja nggk harus di Kantor. Work Life Integration bu, kalau kata anak Millenials……

Perubahan-perubahan yang dilakukan karyawan atas inisiatif mereka sendiri dalam mendesain kembali cara kerja mereka dikenal sebagai job crafting [1]. Job crafting menghadirkan kesempatan bagi angkatan kerja milleninial untuk mengintegrasikan dan mengorganisasikan pengalaman kerja mereka ke dalam rasa diri yang otentik. Job crafting merupakan upaya individu dalam menyelaraskan pengalaman kerja dengan dorongan internal yang berdampak pada berkembangnya motivasi intrinsik. Hal tersebut terlihat dari penjelasan FIB sebagai berikut ; Job crafting menjadi sangat penting khususnya ketika terjadi perubahan karakteristik, jenis dan lingkungan dalam dunia kerja. Job crafting adalah perilaku karyawan mengubah dukungan atau tantangan agar dapat sesuai dengan kemampuannya untuk melakukan pekerjaan. Perubahan yang dimaksud adalah hubungan dengan karyawan lain di tempat kerja, serta persepsi mengenai pekerjaan dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif sebagai sarana memperkaya dukungan pekerjaaan .Job crafting memiliki potensi untuk meningkatkan keseimbangan karyawan dari job demands dengan job resources [12]. Bakker dan Leiter [12] juga mengungkapkan bahwa job crafting membantu karyawan dalam proses menyesuaikan diri dengan pekerjaannya (person job-fit). Job crafting adalah proses perubahan cara / desain pekerjaan yang dilakukan karyawan baik dalam bentuk fisik maupun psikologis [17]. Menurut Wrzesniewski dan Duton [17], job crafting memiliki 3 (tiga) dimensi. Dimensinya ialah task crafting (pengubahan tugas), relational crafting (pengubahan relasi) and cognitive crafting (pengubahan persepsi). Pengubahan tugas merupakan usaha yang dilakukan untuk mengubah cara kerja, keleluasaannya atau tipe tugas yang diambilnya. Bakker menambahkan satu dimensi lagi dalam job crafting yaitu optimizing job demand. Optimizing job demand adalah suatu bentuk penyelesaian tugas dengan cara-cara yang lebih efisien.

Konsep lingkungan kerja kekeluragaan.

Dari hasil wawancara dengan FIB, ditemukan situasi kerja yang disebutnya sebagai “kekeluragaan” yang membuat suasana kerja menjadi lebih nyaman. Seperti yang disampaikan oleh FIB :

……..Lingkungan Kerja yang Nyaman dan Rasa kekeluargaan yang saya rasakan adalah :1. Tidak ada batasan jabatan dalam hal berkomunikasi baik dalam hal pekerjaan ataupun di luar pekerjaan semua karyawan saling support dan terbuka satu sama lain untuk hal2 yang positif. 2. Jiwa peduli yang tinggi dari mulai acara bahagia seperti Ucapan dan Perayaan Ulang Tahun meski sederhana untuk semua karyawan yang berulang tahun, sampai dengan hal yang mungkin kurang mengenakan seperti contoh karyawan yang terkena musibah sakit atau ada keluarga yang meninggal dunia pasti manajemen akan hadir untuk membantu dan mengucapkan bela sungkawa saya masih ingat pesan Top Manajemen ke saya sbg HRD “Karyawan Bahagia kita bahagia semua, jika ada karyawan yang Sakit maka Kita juga harus merasakan sakitnya dan Membantunya. 3. Seringnya ada event2 mingguan untuk sekedar coffee morning dan share experience atau knowledge baru sehingga intensitas komunikasinya terbentuk secara maksimal.

Hasil penelitian Sak [6] menunjukkan bahwa social support merupakan salah satu prediktor work engagment. Situasi yang dialami FIB di tempat kerja nampaknya lebih dari social support, melainkan menghidupkan nilai-nilai kekeluargaan di lingkungan pekerjaan. Nilai kekeluargaan yang dimaksud berupa perhatian dan kepedulian pada semua anggota organisasi. Pesan dari manajemen puncak mengenai keharusan membantu semua anggota organisasi yang sedang kesulitan merupakan suatu bentuk legitimasi untuk menghidupkan nilai-nilai kekeluargaan yang dimaksud.

Bahagia yang “diupayakan”

Dalam salah satu sesi wawancara, B menyampaikan bahwa ia sangat bahagia menjalankan pekerjaannya ;

...............Happy bingit dah....ya musti dibuat Happy Mbak, kita ada culture yg sudah dibuat top management untukk jadi budaya kita. Budaya kerja kita TIPCE (Trust, Integrity, Profesionalism, Customer focus and Excellent) dibuat sekitar 14/15 tahun yang lalu oleh senior2 kita Mbak, untuk diterapkan di tempat kerja bahkan bisa juga dipake utk lingkungan rumah juga 😁, karena valuenya bagus………….

Penjelasan B diatas menunjukkan bahwa karyawan memberikan evaluasi terhadap situasi kerja yang dia hadapi. Selanjutnya karyawan yang memutuskan respon apa yang akan dia berikan sebagai kompensasi yang layak. Situasi tersebut dapat dijelaskan melalui social exchange theory (SET). Menurut teori ini kewajiban yang dihasilkan melalui serangkaian interaksi antara pihak yang berada dalam keadaan saling tergantung secara timbal balik. Prinsip dasar dari SET adalah bahwa hubungan berkembang dari waktu ke waktu sehingga seseorang menjadi percaya, setia, dan saling komitmen selama para pihak mematuhi dengan "aturan" tertentu pertukaran [18]. Aturan pertukaran biasanya melibatkan timbal balik atau aturan pembayaran sedemikian rupa sehingga tindakan dari satu pihak mengarah pada respon atau tindakan oleh pihak lain. Sebagai contoh, ketika individu menerima sumber daya ekonomi dan sosioemosional dari organisasi mereka, mereka merasa berkewajiban untuk menanggapi dengan baik dan membayar kembali organisasi [18]. Hal ini konsisten dengan Robinson et al. ' s [19] Deskripsi keterlibatan sebagai hubungan dua arah antara perusahaan dan karyawan.

Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan work engagement bersumber dari dua kelompok yaitu job resources dan personal resources. Job resources berupa lingkungan kerja, suasana kerja, adanya kesempatan berkarir, penghargaan, pengalaman dan tantangan dari pekerjaan. Personal resources meliputi adanya self efficacy dari karyawan. Temuan lain dalam penelitian ini, angkatan kerja millenial juga melakukan job crafting dengan membuat program yang dapat mengintegrasikan antara pekerjaan dan kehidupan pribadinya untuk meningkatkan kinerjanya.

References

  1. Tims, M., & Bakker, A. B. (2010). Job crafting: Towards a new model of individual job redesign. SA Journal of Industrial Psychology, 36(2), 1–9. doi: 10.4102/sajip.v36i2.841
  2. Kimberley Breevaart, Arnold Bakker, Jørn Hetland, Evangelia Demerouti, Olav K. Olsen4 and Roar Espevik. 2014. Daily transactional and transformational leadership and daily employee engagement. DOI : 10.1111/joop.12041.
  3. Schaufeli, W.B., Salanova, M., Gonzalez-Roma, V. and Bakker, A.B. (2002), “The measurement of engagement and burnout: a two sample confirmatory factor analytic approach”, Journal of Happiness Studies, Vol. 3.
  4. Lee, K. and Allen, N.J. (2002), “Organizational citizenship behavior and workplace deviance: the role of affect and cognitions”, Journal of Applied Psychology, Vol. 87
  5. Chughtai, Aamir Ali and Buckley, Finian. (2011). Work Engagement A Handbook of Essential Theory and Research. Career Development International. DOI : 10.1108/13620431111187290.
  6. Saks, Alan M. 2006. Antecedents and consequences of employee engagement. Journal of Managerial Psychology. Volume 21. DOI : 10.1108/02683940610690169
  7. Hewitt. (2008). Leadership Opportunities: Increased Bottom Line Results Through Improve Staff Engagement. Modul.
  8. Worldwide. 13% of employees are engaged at work. (Oktober, 2013). http://www.gallup.com/poll/165269/worldwide-employees-engaged-work.aspx.
  9. Global workforce study. (2014). https://www.towerswatson.com/en-BM/Insights/IC-Types/Survey-Research-Results/2014/08/the-2014-global-workforce-study.
  10. Badan Pusat Statistik. (2017). Proyeksi penduduk indonesia 2010-2035. http: www.demografi.bps.go.id.
  11. Putra, Y. S. (2016). Theoritical review: Teori perbedaan generasi. Among Makarti, 9(18), 123- 134. doi:10.1016/amr.g67p123.
  12. Bakker, A.B., Albrecht, S.L., Leiter, M.P., 2011. Key questions regarding work engagement. European Journal of Work and Organizational Psychology.
  13. Demerouti, E., Bakker, A.B., Nachreiner, F., Schaufeli, W.B. (2001). The Jon Demands-Resources Model of Burnout. Journal of Applied Psychology 86(3): 499-512
  14. Bakker, A. B., Demerouti, E., and Sanz-Vergel, A.I. 2014. Burnout and Work Engagement: The JD–R Approach. Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior. DOI : 10.1146/annurev-orgpsych-031413-091235.
  15. Makakingas, Anne. Feldt, Taru. Kinnunen, Ulla. Mauno, Saija.,2013. Does personality matter ? a review of individual well-being. DOI : 10.1108/S2046-410X(2013)0000001008.
  16. Bakker, Arnold.2017. Strategic and proactive approaches to work engagement. Organizational Dynamics. DOI : 10.1016/j.orgdyn.2017.04.002.
  17. Wrzesniewski, A., Dutton, J.E., 2001. Crafting a job: revisioning employees as active crafters of their work. Academy of Management Review 26. L
  18. Cropanzano, R. and Mitchell, M.S. (2005), “Social exchange theory: an interdisciplinary review”, Journal of Management, Vol. 31.
  19. Robinson, D., Perryman, S. and Hayday, S. (2004), The Drivers of Employee Engagement, Institute for Employment Studies, Brighton.