Articles
DOI: 10.21070/icecrs2020431

Application Of Behavior Modification Using Flooding Techniques To Reduce Traumatic Children In PTSD


Penerapan Modifikasi Perilaku Menggunakan Teknik Pembanjiran (Flooding) Untuk Mengurangi Traumatis Pada Aanak Mengalami PTSD

Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Indonesia
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Indonesia
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Children Flooding Technique

Abstract

PTSD (Post Trauma Stress Disorder) is a maladigmatic reaction that can be experienced by an individual after experiencing a traumatic event in his life. This will have an adverse effect if the individual cannot eliminate the trauma, so that it can disrupt his daily activities. The main symptom of PTSD is involuntary backlash of traumatic events in the form of intrusive dreams or "shadows", which burst into consciousness suddenly (flashbacks). This research was conducted to reduce maladaptive behavior such as crying when listening to people talking loudly to children who see domestic violence in their parents. The subjects in this study were one person carried out for eighteen days divided into six days of assessment and twelve days of therapy. The method used in this research is behavior modification with flooding techniques, where the traumatic trigger stimulus will be presented directly to the subject and after that will be given an understanding of the situation. The results of research that have been done show that the subject is able to maintain the behavior of not crying when hearing a high tone of voice when hearing other people talk.

P ENDAHULUAN

Anak merupakan salah satu anugerah yang diharapkan dapat menjadi generasi penerus di dalam keluarga maupun generasi penerus Bangsa. Namun untuk mewujudkan hal tersebut peran keluarga atau lingkungan sosial dalam mendidik anak juga mempunyai pengaruh terhadap generasi yang akan dihasilkan kedepannya. Keluarga merupakan tempat pertama bagi anak untuk mendapatkan pendidikan secara non formal. Orang tua akan menjadi pendidik utama bagi anaknya dalam membentuk karakter pada anak. Anak cenderung akan mencontoh perilaku yang dilakukan oleh orang tuanya. Jika orang tua mampu memberikan dan mengajarkan perilaku positif kepada anak, maka anak dapat tumbuh dengan karakter positif didalam dirinya. Apabila dalam keluarga sering terjadi konflik antar orang tua atau antar sesama anggota keluarga, akan membuat anak menjadi tertekan dan bahkan menjadi tidak nyaman ketika bersama dengan angota keluarga yang berkonflik.

Konflik yang terjadi dalam rumah tangga seperti kekerasan dalam rumah tangga dapat mengakibatkan anak menjadi kurang respect terhadap salah satu anggota keluarga yang berkonflik. Sering terjadinya konflik dan kekerasan dalam rumah tangga akan mengakibatkan pengaruh yang kurang baik bagi anak kedepannya. Terlebih lagi apabila pertengkaran atau KDRT dilihat secara langsung dan berulangkali oleh anak. Hal ini membuat anak menjadikan pengalaman tersebut sebagai pengalaman yang traumatis. Disaat anak belum mengerti kenapa orang tua yang selama ini bersamanya sering kali mengalami konflik akan menimbulkan efek psikologis yang kurang baik. Walaupun konflik yang terjadi tidak selalu menghasilkan sesuatu yang buruk, jika dapat dilihat dari sisi positif.

Trauma pada anak akibat melihat pertengkaran orang tua bisa saja dapat memunculkan perilaku maladaptive. Ketika anak mengingat atau melihat kejadian traumatis serupa yang membuatnya menjadi histeris dan mengalami kendala dalam melakukan aktivitas kesehariannya. Mengingat dan seolah seperti merasakan kembali akan suatu kejadia traumatis yang pernah dialami sering disebut dengan istilah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Gangguan stress pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder-PTSD) adalah suatu sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat didalam, atau mendengar stressor traumatic yang ekstrim. Seseorang bereaksi terhadap pengelaman tersebut dengan rasa takut dan tidak berdaya, secara menetap menghidupkan kembali peristiwa tersebut dan mencoba mengindari mengingat hal itu. Untuk menegakkan diagnosis, gejala harus bertahap lebih dari satu bulan setelah peristiwa dan harus mempengaruhi area penting kehidupan secara signifikan, seperti keluarga dan pekerjaan [1]

Menurut DSM, anak-anak dapat menderita PTSD, sering kali merupakan respons karena menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga atau mengalami penyiksaan fisik (Silva dkk., dalam Davison, Naele & Kring. 2014). Gambaran klinis PTSD pada anak-anak tampaknya berbeda dengan orang dewasa. Gangguan tidur dengan mimpi buruk dengan monster umum terjadi, sebagaimana juga perubahan perilaku. Sebagai contoh, seorang anak yang semula periang menjadi pendiam dan menarik diri atau seorang anak yang semula pendiam menjadi kasar dan agresif [2].

Sekarang ini bukan hanya kondisi-kondisi peperangan, namun juga trauma berat apa pun seperti teraniaya secara fisik atau seksual, berada di situasi kecelakaan yang serius, menyaksikan bencana ketakutan dapat menghasilkan gangguan stress pasca trauma. Ada beberapa simtom PTSD seperti mengalami ketakutan besar yang muncul selama trauma, menampikan reaksi-reaksi psikologis berat seperti depresi, sulit tidur, kurang konsentrasi dan terganggunya fungsi sehari-hari. Terganggunya fungsi sehari-hari individu ini sepertinya berkaitan dengan upayanya menghindari berpikir tentang trauma dan karenanya menghindari stimulus yang mengingatkannya akan kejadian tersebut [3].

Gejala utama PTSD adalah melangami kembali secara involunter peristiwa traumatic dalam bentuk mimpi atau “bayangan” yang intrusive, yang menerobos masuk kedalam kesadaran secara tiba-tiba (kilas balik atau flashback). Hal ini sering dipicu oleh hal-hal yang mengingatkan penderita akan peristiwa traumatic yang pernah dialami. Kelompok gejala yang lain adalah tanda-tanda meningkatnya keterjagaan (arousal) berupa axietas yang hebat, iratabilitas, insomnia, dan konsentrasi yang buruk. Anxietas akan bertambah parah pada saat terjadi kilas balik. Gejala-gejala disosiatif merupakan kelompok gejala lainnya yang terdiri dari kesulitan mengingat kembali bagian-bagian penting dari pristiwa traumatik, perasaan bukan bagian dari peristiwa itu (detachment), ketidak mampuan merasakan perasaan emosional (emotional numbness). Kadang-kadang terjadi depersonalisasi dan derealisasi. Perilaku menghindar merupakan bagian dari gejalan GSPT (Gangguan Stres Pasca Trauma). Pasien menghindari hal-hal yang dapat mengingatkan dia akan peristiwa traumatic tersebut. Gejala-gejala depresi kerap kali didapatkan penyintas (survivor) sering merasa bersalah [4].

Berapa lama orang mengalami stress pasca trauma, dapat bervariasi. Sebagian besar pulih dalam hitungan bulan (sekitar 3 bulan), ada yang perlu waktu dalam hitngan tahun, tetapi ada pula yang mengalami stress secara menetap. Namun, stress yang dialami bukanlah gangguan kejiwaan yang masuk kategori gila. Dengan mengenali efek trauma dan mengenali gejala-gejalanya, seseorang dapat lebih mampu menetapkan treatmen yang diperlukan bagi dirinya. Dalam masa trauma, individu tenggelam dalam rasa takut atau khawatir. Selanjutnya mereka bisa mengalami gejala PTSD yang meliputi instrusion, avoidance, dan hyperaruosa [5].

Stress pasca trauma yang dialami anak apabila tidak segera ditangani dapat berpengaruh pada kehidupan sehari-hari. Seperti pada subjek dalam penelitian ini, subjek memunculkan perilaku menangis apabila ia mendengarkan suara dengan nada yang cukup keras ketika ada anggota keluarganya sedang berbincang. Perilaku ini muncul dikarenakan subjek sering melihat pertengkaran dan KDRT yang dilakukan oleh ayah pada ibunya. Subjek melihat hal tersebut sebagai kejadian traumatis yang membekas dalam ingatannya. Dampaknya subjek dapat menangis tiba-tiba mendengar suara anggota keluarga yang sedang berbincang dengan nada suara yang cukup keras tanpa ada unsur pertengkaran dalam perbincangan tersebut. Perilaku mulai muncul pada diri subjek sekitar tujuh bulan.

Modifikasi perilaku yang akan dilakukan untuk mengubah perilaku subjek akan menggunakan teknik pembanjiran atau flooding. [6] menjelaskan stress emosional disebabkan pada pengalaman awal masa kanak-kanak, dan pengalaman ini harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum subjek dapat menjadi baik. Salah satunya dengan menggunakan teknik flooding, yaitu memaksa subjek mengenang kembali trauma tersebut secara berulang kali.

Teknik ini terdiri atas pemunculan stimulus berkondisi secara berulang-ulang. Teknik pembanjiran tidak menggunakan tahapan agen pengondisian balik maupun tingkatan kecemasan, terapis akan memunculkan stimulus-stimulus penghasil kecemasan [7]. Prosedur yang disebut pembanjiran (flooding) ini adalah sebuah metode untuk melenyapkan rasa takut dengan memaparkan subjek stimulus yang ditakuti untuk periode waktu tertentu. Sesuai namaya, pembanjiran, penanganan ini melibatkan pemunculan rasa takut di taraf sepenuhnya, atau mendekati penuh. Namun, prosedur ini dapat menurunkan taraf presentuhan subjek dengan stimulus yang menakutkan apabila tekanan yang dialaminya terlalu banyak hingga ‘menenggelamkannya’ (Martin & Pear (2015) .

M ETODE

Pada penelitian ini, metode modifikasi perilaku yang digunakan adalah teknik pembajiran (flooding). Subjek dalam penelitian yang akan dilakukan merupakan anak perempuan berusia 5 tahun yang pada saat ini duduk di bangku sekolah TK. Subjek tinggal bersama ibu, kakek dan nenek dari orang tua ibu. Pada teknik ini, stimulus pemicu trauma akan dihadirkan secara langsung di hapadan subjek. Sebelum modifikasi perilaku dilakukan, adapun rancangan yang akan dilakukan yakni:

Sebelum Program Kegiatan

Akan dilakukan asessmen terlebih dulu selama satu minggu meliputi wawancara, observasi dan tes psikologi. Hasil tes intelegensi menggunakan tes Stanford Binet dengan usia 5 tahun 7 bulan menunjukkan hasil IQ 94 berada pada taraf rata-rata. Hal ini menunjukkan bahwa subjek tidak mengalami habatan dalam proses kognitif, sehingga apabila diberikan pemahaman akan situasi yang menyebabkan subjek menjadi traumatis. Hasil tes Forer dan CAT menunjukan bahwa subjek kurang memiliki hubungan yang akrab dengan sosok ayah. Subjek cenderung memproyeksikan dirinya sebagai seseorang yang sedih ketika berhadapan dengan orang lain yang lebih dewasa.

Saat Program Kegiatan

Peneliti akan menyeting terlebih dahulu anggota keluarga yang berada di rumah subjek untuk memunculkan stimulus yang membuat subjek mengingat kejadian traumatis yang membuat subjek menangis. Setelah itu subjek akan diberikan pemahaman tentang bagaimana situasi sesunguhnya yang subjek lihat. Reinforcement berupa hadiah dan pujian akan diberikan kepada subjek apabila mampu memunculkan perilaku yang diinginkan. Kegiatan terapi berlangsung selama dua belas hari.

H ASIL DAN P EMBAHASAN

Hari ke 1 Harike 2 Hari ke 3 Hari ke 4 Hari ke 5 Hari ke 6
Jumat01/11 Minggu03/11 Senin04/11 Selasa05/11 Rabu06/11 Jumat07/11
x x x
Table 1.Tabel Hasil Pelaksaan Terapi Menggunakan Teknik Flooding
Harike 7 Harike 8 Hari ke 9 Hari ke 10 Hari ke 11 Hari ke 12
Kamis14/11 Jumat15/11 Senin18/11 Selasa19/11 Rabu20/11 Kamis 21/11
x
Table 2.

Keterangan:

= berhasil memunculkan perilaku yang diinginkan

X=tidak berhasil memunculkan perilaku yang diinginkan.

Sebelum Intervensi

Sebelum mendapatkan intervensi, subjek akan selalu menangis dan berkata pusing ketika mendengar ibu, kakek dan neneknya berbicara dengan nada yang tinggi. Terkadang subjek juga akan memukul salah satu ibu, nenek atau kakek yang bersuara paling keras untuk menghentikan obrolan yang sedang berlangsung.

Setelah Intervensi

Pada awal minggu terapi yakni hari pertama dan hari kedua subjek masih terlihat menangis ketika dihadapkan secara lengsung stimulus yang membuat subjek menjadi ketakutan dan tidak nyaman. Pada hari ketiga subjek sudah terlihat tidak menangis lagi ketika mendengar kakek dan neneknya berbincang dengan nada suara yang cukup keras. Pada hari ke-empat subjek terlihat kurang dapat berkonsentrasi dan lebih ingin bermain dengan kakeknya. Sehingga ketika kakek subjek berkata dengan nada yang sedikit keras pada subjek, subjek langsung menangis dan menganggap kakeknya sedang marah padanya.

Pada hari-hari berikutnya, subjek mulai tidak menangis kembali saat mendengar kakek, nenek, dan ibunya berbincang dengan nada yang cukup keras. Perubahan perilaku yang muncul pada minggu pertama, praktikan perkuat dengan pemberian reinforcement berupa pujian dan hadiah bintang.

Awal minggu kedua yakni hari kamis, ketika penghapusan reinforcement dilakukan, beberapa kali subjek menanyakan apakah akan mendapatkan hadiah. Akan tetapi setelah itu subjek tidak menanyakan kembali. Pada hari saat yang sama subjek juga tidak memunculkan perilaku yang diinginkan. Dikarenakan subjek tidak dapat fokus dan hanya ingin bermain dengan kakeknya, dank lien akan menangis jika dijauhkan dengan kakeknya.

Perubahan perilaku yang dialami subjek dari sering menangis ketika mendengarkan suara yang cukup keras dari anggota keluaga yang sedang berbincang santai sampai terjadi perubahan perilaku yang mulai jarang menangis, subjek pelajari dari modifikasi perilaku menggunakan teknik pembanjiran yang disertai dengan pemberihan pemahaman akan situasi tersebut. Asumsi dasar teknik pembanjiran (flooding) adalah jika subjek dipaparkan kepada stimulus yang ditakuti, tidak diizinkan untuk lolos darinya, dan tidak ada kejadian aversif yang mengikutinya, maka respons takut terhadap stimulus tersebut akan punah (Martin & Pear, 2015).

Memberikan reinforcement secara continue berupa hadiah dan pujian ketika subjek berhasil memunculkan perilaku yang diinginkan juga dapat memperkuat perilaku yang diinginkan. Dilihat berdasarkan teori operant conditioning yang menjelaskan pengkondisian operan (operant conditioning) adalah proses penguatan perilaku operan (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut berulang kembali atau menghilang sesuai keinginan [8]

K ESIMPULAN

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pemanjiran (flooding) untuk dapat membantu klien dalam mengadapi trauma yang ia alami. Praktikan memodifikasi perilaku subjek dengan menghadirkan langsung stimulus pemicu yang membuat subjek menangis dan mengingat kejadian traumatisnya. Setelah dilakukan tahap intervensi selama dua belas hari, subjek mampu tidak menangis saat mendengar ibu, kakek, dan neneknya berbincang dengan suara yang cukup keras. Selama terapi berlangsung, Subjek juga cukup cepat menangkap intruksi dan penjelasan saat diberitahukan oleh praktikan. Faktor penghambat yang ditemui praktikan ketika melakukan intervensi adalah ketika kakek subjek libur bekerja dan berada di rumah, subjek sangat manja dengan kakeknya sehingga praktikan berusaha agar subjek dapat fokus dengan praktikan tanpa didamping oleh kakeknya. Pemberian reinforcement harusnya diberikan berkala oleh praktikan dan tidak memberikan reinforcement secara continue. Hal ini dilakukan untuk mengindari kemunculan perilaku yang selalu diperkuat dengan reinforcement.

U CAPAN T ERIMAKASIH

Dengan selesainya penelitian ini, peneliti mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. IGAA. Noviekayati, M.Si, Psikolog selaku pembimbing yang senantiasa meberikan saran, masukan dan motivasi kepada peneliti hingga dapat menyelesaikan penelitian ini. Terimakasih peneliti sampaikan kepada subjek dan keluarga subjek yang bersedia memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian ini.

References

  1. Kaplan & Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2010.
  2. Davison, Nael & Kring. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2014
  3. Martin & Pear. Modifikasi Perilaku (Makna dan Penerapan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015.
  4. Maramis, W.F. Maramis, A.A. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. 2012.
  5. Widyarini., M.M. Nialam. Relasi Orangtua & Anak. Jakarta : Elex Media Komputindo. 2013.
  6. Wright., Susan. Be Your Own Therapist (Terapi Diri Menuju Kesehatan Emosi). Yogyakarta: Kanisius. 2009.
  7. Corey., Gerald. Teori dan Praktek (Konseling & Psikoterapi). Bandung: PT Refika Aditama. 2013
  8. Hamzah., Nur. Pengembangan Sosial Anak Usia Dini. Pontianak : Iain Pontianak Press. 2015