Abstract

Mental retardation is one factor that affects the lack of cognitive abilities of individuals in learning and understanding learning or understanding commands given. People with mental retadation needs more help in learning, repetition,  and double attention than childs at their age. This research method was qualitative, the type was single-subject experiment, and the client was a 9.3-year-old girl with an IQ of 64. The data collection used by researchers in this study was the interview method (autoanamnesa and alloanamnesa), observing the subject's behavior at home, when  she was playing and learning. The psychological tests given are CPM, Bender Gestalt, and Graphics (BAUM, DAP, HTP). An economic token as the type of intervention used, tried to help improve the eating patterns of subjects who were previously less organized. The token used in the form of color paper was affixed to the subject's daily journal if it has performed the assigned task. The intervention was carried out within 14 (fourteen) days, divided into two sessions. Calculation of total tokens to got the reward in a week, and the minimum value is eighteen tokens, and prizes agreed upon in the form of a large picture book. The results showed a change in client behavior from before and after the intervention given.

P ENDAHULUAN

Retardasi mental [1] merupakan ketidakmampuan yang dikarakteristikkan dengan keterbatasan signifikan baik dalam fungsi intelektual dan perilaku penyesuaian diri yang diekspresikan dalam konseptual diri, sosial, dan kemampuan beradaptasi. Penderita retardasi mental mulai terlihat pada usia sebelum 18 tahun, dengan karakteristik retardasi mental yaitu fungsi intelektual dibawah rata-rata (IQ<70-75).

Definisi retardasi mental yang digunakan di Indonesia adalah definisi menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III yaitu suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan. Hendaya keterampilan ini berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh. Prevalensi penderita retardasi mental 1-3 persen pada populasi umum. Insiden retardasi mental 1.5 kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, dimana kejadian tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak usia 6 sampai 17 tahun [2].

Hasil analisis dari Global Burden of Disease tahun 2004 dalam Kemenkes RI (2014), didapatkan bahwa 15.3 persen populasi dunia mengalami disabilitas sedang, dan 2.9 persen mengalami disabilitas parah. Pada populasi usia 0-14 tahun prevalensinya berturut-turut adalah 5.1 persen dan 0,7 persen. Sedangkan pada populasi usia 15 tahun atau lebih, sebesar 19.4 persen dan 3.8 persen. Populasi penyandang disabilitas di Indonesia menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 adalah sebesar 2.45 persen (6.515.500 jiwa) dari 244.919.000 estimasi jumlah penduduk Indonesia dan retardasi mental termasuk di dalamnya. Terjadi peningkatan prevalensi disabilitas termasuk retardasi mental pada tahun 2003 sampai 2006 yaitu dari 0.69 persen menjadi

1.38 persen, kemudian tahun 2009 sampai 2012 yaitu dari 0.92 persen menjadi 2,45 persen dari total jumlah penduduk di Indonesia [3].

Retardasi mental (RM) memiliki empat kategori, yaitu RM taraf ringan memiliki rentang IQ 50–55 sampai sekitar 70, memiliki kemampuan membaca dan aritmatika sampai kelas 3–6 SD. RM taraf sedang memiliki tingkat IQ 35–40 sampai 50–

55 mampu mempelajari komunikasi sederhana, keterampilan tangan yang sederhana, perawatan diri yang mendasar, pada tingkatan ini anak masih dapat dibimbing dan dilatih untuk dapat befungsi di dalam lingkungan sosial. Pada RM taraf berat memiliki rentang IQ 20–25 sampai 35–40 biasanya mampu berjalan tetapi memiliki ketidakmampuan

yang spesifik, pada taraf RM ini dapat mengerti pembicaraan dan memberikan respons, akan tetapi tidak mengalami kemajuan dalam kemampuan membaca dan aritmetika (lisnawati dkk, 2014). Retardasi mental ringan dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dididik (educable). Anak mengalami gangguan berbahasa tetapi masih mampu menguasainya untuk keperluan bicara sehari-hari dan untuk wawancara klinik. Umumnya mereka juga mampu mengurus diri sendiri secara independen (makan, mencuci, memakai baju, mengontrol saluran cerna dan kandung kemih), meskipun tingkat perkembangannya sedikit lebih lambat dari ukuran normal. Kesulitan utama biasanya terlihat pada pekerjaan akademik sekolah, dan banyak yang bermasalah dalam membaca dan menulis. Dalam konteks sosiokultural yang memerlukan sedikit kemampuan akademik, mereka tidak ada masalah. Tetapi jika ternyata timbul masalah emosional dan sosial, akan terlihat bahwa mereka mengalami gangguan, misal tidak mampu menguasai masalah perkawinan atau mengasuh anak, atau kesulitan menyesuaikan diri dengan tradisi budaya [4]. Dengan demikian, proses pembelajarannya lebih berfokus pada kegiatan melatih anak dengan keterampilan yang memungkinkan mereka untuk dapat berfungsi pada lingkungan sosial. Program pelatihan khusus yang diberikan pada anak RM ringan dilaksanakan sesuai dengan batas kemampuan anak.

Secara umum, gambaran subjek penelitian adalah anak berusia sembilan tahun lebih, tetapi kemampuan yang dimilikinya, entah itu dalam akademis dan non-akademis, tidak seperti anak- anak seusianya. Murid kelas 2 SD, beragama islam, suku Jawa, anak pertama dari dua bersaudara. Ia belum bisa berbicara dengan lancar, membutuhkan bantuan yang lebih banyak dalam mengerjakan tugas sekolahnya, dan cenderung tertutup. Artikulasinya (pengucapan) tidak terdengar jelas, suaranya yang kecil semakin menyulitkan orang lain untuk memahami apa yang dia katakan. Ketika ditanya tentang hal yang mudah saja, anak sering melihat ke arah neneknya – mungkin bermaksud meminta bantuan, atau mengonfirmasi apakah boleh memberikan jawaban. Kemampuan anak di bidang akademisnya sangat tertinggal, bahkan dia pernah sengaja tidak dinaikkan ke jenjang kelas berikutnya karena pihak sekolah merasa subjek belum mampu dan akan semakin kesulitan kalau tetap dinaikkan kelas. Pada usia tiga tahun dia belum bisa berbicara, kemampuan berkomunikasinya mulai membaik ketika ia masuk ke sekolah dasar.

Orang tua subjek bercerai saat subjek masih berusia kurang dari tiga tahun, dan semenjak itu pula diasuh oleh neneknya. Subjek tidak mengenali orang yang mengasuhnya sebagai nenek, jadi ia memanggilnya dengan sebutan Ibu. Ayahnya sudah

menikah lagi dengan seorang wanita berdarah Cina, dan ibunya dikabarkan baru akan menikah lagi. Ayahnya tetap tinggal di Surabaya, bahkan rumahnya masih di sekitaran daerah Sukolilo, sementara ibunya bersama dengan adik laki-lakinya tinggal di daerah pinggiran kota Surabaya. Bisa dikatakan klien sangat tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya, bahkan mereka pun tak akan menjenguk sangat jarang menjenguk si anak. Hal ini jugalah yang membuat orang lain merasa wajar kalau anak menunjukkan kekurangan di berbagai hal, termasuk seringnya ia sakit-sakitan. Dari informasi yang didapat, ibu klien juga menunjukkan ciri yang sama dengan klien, di mana dari ekspresi wajahnya tampak seperti apa yang orang-orang bilang dengan lola (lambat loading, telat mikir, dan bego).

Pernah sekali ia tinggal dengan ayah dan ibu tirinya, tetapi ketika sang nenek menjemput kembali klien sebab ia sering mencarinya dan terus sakit-sakitan, si nenek mendapati kaki anak yang lebam (kehitam-hitaman). Dan sejak saat itu pula, setiap ditawari untuk tinggal dengan ayah atau ibu kandungnya sendiri, si anak pasti akan memilih untuk tetap bersama neneknya. Hal inilah yang memiliki kemungkinan besar dalam mempenaruhi perkembangan psikologis klien. Ibunya sangat jarang mengunjungi klien, sedangkan ayahnya bersikap tak peduli karena bunda (ibu tiri) tidak menyukai subjek. Neneknya pun tidak bisa memberikan perhatian yang optimal dan ideal kepada subjek, disamping usianya yang sudah dia atas lima puluh tahun, memiliki penyakit yang membuatnya harus mengonsumsi obat dan berefek samping tubuhnya menggemuk, kesibukkan di panti asuhan, dan cukup temperamental (gampang marah), membuat sang nenek sering memarahi dan memukul klien ketika si anak mulai bertingkah. Selain itu, neneknya juga mengaku tak bisa terlalu sabar dalam mengajari subjek pelajaran, neneknya itu akan cepat kesal saat subjek tidak memahami pelajaran yang dijelaskan. Neneknya mengetahui kekurangan klien dalam pelajaran, hal inilah yang menyebabkannya menyetujui si anak untuk tidak dinaikkan kelas. Akan tetapi, ia kurang memahami kondisi klien yang sebenarnya sehingga hal itu dianggapnya wajar bagi seorang anak yang tidak mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya. Oleh sebab itu, ketika ditanya masalah yang dikeluhkan, jawaban yang didapat hanya masalah kemampuan berbicaranya saja. Kendati sudah berusaha membantu memerbaiki kemampuan akademis subjek dengan mengikuti les, ternyata hal itu tak cukup membantu.

Sementara keterangan dari ibu panti asuhan, masalah yang dimiliki subjek bukan hanya dari berbicaranya saja. Ada beberapa kejadian yang membuatnya merasa kesal pada subjek, yaitu ketika diberikan perintah dan dia melakukannya berbeda

dari apa yang dikatakan – ini pernah menimbulkan permasalahan baru. Ia masih bisa bersosialisasi dengan orang lain, tetapi harusnya yang sudah dikenalinya, maka saat bertemu dengan orang yang baru subjek akan sangat pendiam. Walau pun bisa mengerjakan pekerjaan ringan seperti menyapu, cuci piring, memakai pakaian, ia harus selalu disuruh terlebih dahulu. Akan tetapi, waktu diberikan perintah yang rumit atau bertingkat (pertama lakukan ini, kedua itu, ketika ini dan itu), subjek akan kebingungan sendiri, lalu mengerjakan tugas yang tidak sesuai dengan perintah. Ia tampak sulit memahami apa yang harus ia lakukan apabila tidak ada rincian dan bantuan dari orang lain, seperti ketika mengerjakan tugas di sekolah. Alih- alih menjawab isi pertanyaan, ia akan kembali menuliskan kalimat tanya di buku tulisnya.

Di sekolah anak memang sangat pasif, wali kelasnya mengatakan bahwa subjek tidak pernah berusaha untuk menunjukkan bahwa ia ada di situ. Pendiam, berteman dengan orang yang itu-itu saja, dan hanya bisa memahami tugas yang memiliki contoh kongkret. Seperti ketika diminta menggambar kubus, subjek baru bisa mengerti ketika dijelaskan menggambar kotak, padahal pelajaran tentang bangun ruang (lingkaran, segitiga, persegi panjang) sudah didapatnya dari kelas satu. Selain itu, subjek yang terlalu pendiam jarang bertanya kepada gurunya apabila tidak memahami pelajaran atau mengalami kesulitan. Ia pun memiliki kepercayaan diri yang rendah, hal inilah yang menyebabkan anak semakin enggan berbicara dengan teman-temannya, karena malu suaranya kecil dan pengucapannya kurang jelas. Wali kelasnya, mengatakan bahwa klien seharusnya dimasukkan dalam sekolah khusus yang memberikan perhatian sesuai kebutuhan anak. Sebab untuk mengajari subjek memang dibutuhkan kesabaran, waktu, dan perhatian yang lebih banyak dari anak-anak normal seusianya.

Berdasarkan pengambilan data dari hasil wawancara, observasi, dan alat tes psikologi. Mendapati bahwa subjek merupakan anak retardasi mental ringan dengan skor IQ 64. Terlepas dari berbagai kekurangannya di bidang akademis, salah satu permasalahan yang menjadi perhatian adalah, pola makan subjek yang tidak teratur dan porsinya pun sedikit. Hal ini menyebabkan tubuhnya kurus, dan sering kali terserang penyakit seperti demam, flu, dan batuk. Oleh sebab itu, teknik ekonomi token digunakan untuk membantu memerbaiki pola makan subjek, yang mana reward-nya telah dibicarakan terlebih dahulu dengan subjek – dikarenakan subjek menyukai kegiatan menggambar, maka anak setuju buku gambar besar dijadikan hadiah.

Ayllon menjelaskan ekonomi token adalah satu bentuk pengubahan perilaku yang dirancang untuk

meningkatkan perilaku yang disukai dan mengurangkan perilaku yang tidak disukai dengan menggunakan token atau koin [5]. Seorang individu akan menerima token dengan segera setelah menampilkan perilaku yang disenangi, sebaliknya akan mendapat pengurangan token jika menampilkan perilaku yang tidak disukai. Token-token ini dikumpulkan dan kemudian dalam jangka waktu tertentu dapat ditukarkan dengan hadiah atau sesuatu yang mempunyai makna. Secara singkatnya, menurut Garry [5] Ekonomi token merupakan sebuah system reinforcement untuk perilaku yang dikelola dan diubah, seseorang mesti dihadiahi/diberikan penguatan untuk meningkatkan atau mengurangi perilaku yang diinginkan. Tujuan utama dari Ekonomi Token adalah meningkatkan perilaku yang disukai (baik) dan mengurangkan perilaku tidak disukai [5].

Dalam penelitian ini, token yang digunakan berupa kertas warna yang akan ditempel pada jadwal makan per hari anak. Dilakukan selama dua minggu, dan pemberian reward setiap satu minggu mulai dari tugas diberikan. Jumlah perilaku minimal agar dapat menerima hadiah adalah 18 token.

M ETODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif single case design (desain satu kasus) yang merupakan sebuah desain penelitian untuk mengevaluasi efek suatu perlakuan dengan kasus tunggal. Menurut Phares, [6], menjelaskan bahwa desain satu kasus merupakan perwujudan dari pendekatan perilaku (behavioral opproach) yang mengutamakan pengukuran perilaku nyata seperti yang dianjurkan dalam belajar operan. Desain penelitian yang digunakan dalam desain kasus tunggal (single-case design) yaitu menggunakan format A-B-A sehingga tahap awal yaitu fase baseline (A) adalah menentukan target yaitu tahap awal dalam intervensi sebagai aspek perilaku yang akan di inervensi. Kemudian, tahap kedua fase intervensi

Subjek penelilitian adalah anak perempuan berusia 9.3 tahun, dengan IQ 64, dan saat ini mengenyam pendidikan sekolah dasar kelas dua. Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode wawancara (autoanamnesa dan alloanamnesa), mengobservasi

perilaku subjek saat di rumah, di panti, bermain, dan belajar. Tes-tes psikologi yang diberikan adalah CPM untuk mengetahui tingkat intelegensi klien, bender gestalt guna mendapatkan usia mentalnya, dan grafis (BAUM, DAP, HTP) untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi psikologis klien. Jenis intervensiyang diberikan adalah teknik ekonomi token, dan Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara menghitung jumlah total token yang didapat subjek dalam seminggu.

Telah dijelaskan di atas bahwa penelitian ini menggunakan ekonomi token sebagai indikator modifikasi perilaku. Oleh sebab itu, instrumen dalam penelitian ini fokus pada cara pengaplikasiannya. Di bawah ini akan dijelaskan mulai dari penentuan kriteria sampai prosudurnya. Ada beberapa alasan yang mendukung penggunaan ekonomi token dalam kasus ini.

  1. yaitu, pemberian treatment dimana penerapan tehnik intervensi dilakukan. Setelah diberikan treatment, tahap terakhir yaitu fase baseline (A) evaluasi yang merupakan tindak lanjut dari tehnik intervensi. Tahap evaluasi ini untuk mengetahui apakah subjek dapat mempertahankan perilaku yang sudah diintervensi dengan baik.
  2. Kemampuan intelegensi anak masuk dalam kategori retardasi mental ringan, artinya masih bisa dididik dan mampu dilatih.
  3. Klien menunjukkan adanya motivasi untuk berusaha saat dijanjikan reward.
  4. Dukungan dari significantother.

Dalam implementasi ekonomi token, pertama- tama peneliti melakukan analisis ABC (A = faktor pencetus, B = tingkah laku, C = konsekuensi). Kedua, pratikan menetukan garis basal perilaku klien.

Tabel 1. Analisis ABC

A Pola makan klien tidak menentu, dan porsinya sangan sedikit.
B Gizi yang kurang memadai tampak terlihat jelas pada kurusnya tubuh klien. Itu pula yang menjadi salah satu pemicu tubuhnya gampang sakit.
C Tubuhnya kurus, gizi tidak seimbang, dan jadi mudah terserang penyakit semacam flu.
Table 1.Analisis ABC

Ada pun prosedurnya dijelaskan sebagai berikut:

  1. Pemilihan token. Dalam penelitian ini tokennya adalah kertas warna. Sekaligus menerangkan bahwa ada nilai minimal yang harus dicapai klien untuk mendapatkan hadiah.
  2. Menjelaskan pada significant other dan klien apa yang harus dilakukan.
  3. Setelah melakukan kegiatan yang diharapkan, klien boleh mengisi jurnal dengan menempelkan kertas warna.
  4. Memberikan motivasi dengan mengatakan reward apa yang akan didapatnya (buku gambar).
  5. Sebelumnya telah dijelaskan kalau klien sebaiknya mengisi penuh jurnal harian yang dibuatkan, tetapi ada nilai minimal yang bisa dicapainya untuk mendapatkan hadiah.
  6. Sistem perekaman data menggunakan jurnal mingguan yang mencatat jumlah makan dalam sehari. Penukaran token dilakuakan setelah satu minggu dimulainya intervensi.

Dalam penelitian ini pun menggunakan pendekatan kualitatif Single Case Design (desain satu kasus), maka analisisnya akan dijelaskan dalam bentuk tabel maupun penjabaran hasil dari perlakuan (intervensi) yang diberikan. Sekaligus membandingkan antara sebelum dan sesudah penerapaan ekonomi token diberikan, serta menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mendukung.

H ASIL DAN P EMBAHASAN

Hasil

Tabel 2. Figure 1

Figure 1.Hasil Penelitian

Tabel 3. Inti Hasil

Sebelum Pola makan klien berantakan dan porsinya pun sangat sedikit. Itu juga yang menyebabkan tubuh klien sangat kurus, dan sering sekali terkena penyakit semacam demam, pilek, dan batuk.
Sesudah Klien mulai terbiasa makan tiga kali sehari dengan waktu yang lebih tertata: pagi (sebelum bernagkat sekolah), siang (setelah pulang sekolah), dan malam (sepulang dari mengaji tau les). Porsinya pun lebih banyak dari sebelumnya.
Table 2.Inti Hasil

Berdasarkan hasil intervensi yang telah dilakukan, mendapati hasil bahwa klien mulai terbiasa makan teratur dan dengan porsi yang lebih banyak. Ketika ia merasa tidak bisa menghabiskan makanannya, significant other-nya akan memotivasinya untuk menghabiskan karena ada janji dengan pratikan yang harus ditepati. Sejauh ini tidak ada masalah yang perlu dikhawatirkan dalam membiasakan klien dalam tugas ini.

Pada minggu kedua, tugas makan yang diberikan pun dipenuhi dengan baik, dari keterangan significant other kebiasaan makan subjek lebih baik dari sebelumnya. Pola makan anak jadi lebih tertata, dan porsinya pun lebih banyak dari sebelumnya – hal ini dilihat dari klien yang bisa menghabiskan satu porsi sate yang belikan, sebab biasanya selalu ada sisanya. Dan karena sesuai dengan perjanjian sebelumnya, maka klien pun mendapatkan hadiah berupa buku gambar besar.

Penerapan teknik ekonomi token mampu membantu subjek dalam memerbaiki jadwal makan sekaligus porsinya lebih banyak dari sebelumnya. Hal ini tentunya dibantu oleh beberapa faktor pendukung seperti motivasi subjek yang baik sehingga konsisten melakukan tugas tersebut, dukungan dari significant other yang mengingatkan untuk mengikuti jadwal rutin makan, dan hubungan terapautik yang baik antara pratikan dan subjek.

Pembahasan

Reward atau ekonomi token merupakan salah satu bentuk penguatan positif (positive reinforcement). Menurut Syah [7], ekonomi token adalah suatu sistem dalam modifikasi perilaku melalui penguatan positif (positive reinforcement) yang berasal dari dasar operant conditioning. Respons dalam operant conditioning, terjadi tanpa didahului stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri sesungguhnya adalah stimulus yang dapat meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respon tertentu. Penguat dikatakan sebagai reinforcement yaitu konsekuensi yang meningkatkan

probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi. yaitu frekuensi meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding).

Dalam penelitian ini mendapati hasil bahwa ekonomi token dapat membantu subjek untuk mengikuti jadwal makan per hari (pagi, siang, malam), dan dengan porsi yang lebih banyak dari sebelum intervensi diberikan. Hal ini karenakan sistem token ekomomi yang menggunakan reward (hadiah) sebagai umpan yang memotivasi subjek untuk konsisten, selain itu juga hal yang penting mengingat subjek merupakan anak yang memiliki motivasi tinggi untuk melakukan sesuatu ketika dijanjikan sesuatu yang ia sukai – di penelitian ini hadiahnya adalah buku gambar.

Efektivitas ekonomi token pun ada dalam penelitian dari Muriyawati dan Faridah Ainur Rohmah tahun 2016 yang meneliti pengaruh pemberian ekonomi token terhadap motivasi siswa. Dalam penelitian tersebut, berdasarkan hasil penelitian yang didapat setelah melakukan analisis data dengan menggunakan uji-T yaitu paired sample t-test dan independent sample t-test, maka dapat diambil kesimpulan bahwa metode ekonomi token dapat meningkatkan atau berpengaruh positif untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dibandingan yang tidak mengguakan metode ekonomi token, sehingga ada perbedaan motivasi belajar yang sangat signifikan atara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Penggunaan metode ekonomi token pada kelompok eksperimen sangat signifikan dalam meningkatkan motivasi belajar siswa [7].

K ESIMPULAN

Kapasitas intelegensi orang memang berbeda-beda, pada anak normal selama diberikan stimulus yang memadai, mereka akan bisa menyesuaikan diri dengan tugas perkembangan maupun akademisnya. Namun, pada anak-anak yang memiliki masalah perkembangan seperti retardasi mental, memang membutuhkan lebih banyak perhatian serta bantuan ekstra agar mereka bisa mencapai taraf normal tertentu bagi anak seusianya. Dalam belajar mereka butuh lebih banyak pengulangan, menumbuhkan kebiasaan mudah pun harus dilakukan secara konsisten, maka bentuk intervensi yang dirasa cocok untuk membantu mereka adalah teknik ekonomi token – terutama apabila anak menunjukkan motivasi yang baik untuk berusaha saat diiming-imingi hadiah. Selain memodifikasi perilaku, hal ini juga mengembangkan rasa tangggung jawab dan memahami adanya hak yang bisa diterimanya. Pada studi kasus ini, klien merupakan anak dengan gangguan retardasi mental ringan, di mana masih dalam kategori mampu dididik. Dari berbagai masalah yang dihadapinya, ketidakrutinan makan yang menyebabkan kesehatannya mudah terganggu (sakit- sakitan). Menaati jadwal makan per hari merupakan salah satu jenis tugas yang tergolong mampu ia lakukan tanpa terlalu banyak bantuan dari orang lain.

U CAPAN T ERIMA K ASIH

Puji syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa, karena atas rahmat-Nya peneliti bisa melakukan dan menyelesaikan tugas ini tanpa kendala yang berarti. Terima kasih sebanyak-banyaknya kepada orang tua saya yang selalu mendukung selama ini, rekan-rekan seangkatan A25 Mapro Untag, dan teman-teman yang selalu membantu saya. Terima kasih juga kepada pihak-pihak terkait dalam penelitian ini, subjek penelitian dan significant other-nya, sehingga pelaksanaan asesmen dan intervensi bisa berjalam dengan baik. Tentunya terima kasih pula dengan dosen-dosen pengajar di Fakultas Psikologi Untag Mapro yang telah membagi ilmunya kepada kami, khususnya kepada Kaprodi, Bu IGAA Noviekayanti, yang mau membagi waktunya untuk mendengarkan permasalahan kami dalam mengerjakan tugas ini, mau pun Bu Dyan Evita Sari sebagai dosen matakuliah Presentasi Karya Ilmiah yang telah membantu kami memesiapkan diri untuk paper. Terima kasih pula pada admin-admin di Tata Usaha akademik kampus, yang selalu membantu kami. Tak lupa tentunya, saya sangat berterima kasih pada Drs. Herlan Pratikto, M.Psi selaku dosen pembimbing saya, yang atas bantuannya pula saya bisa menyelesaikan tugas ini.

References

  1. Ramayumi, Raysa dkk. Karakteristik Retardasi Mental di SLB Bukittinggi. MKA vol. 37 no. 2, 2014. http://jurnalmka.fk.unand.ac.id/index.php/art/artic le/view/158/154
  2. Maslim, R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa PPDGJ III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2013.
  3. Pratiwi, Imas Cahyaning dkk. Kemampuan Kognitif Anak Retardasi Mental Berdasarkan Status Gizi. Public Health Perspective Journal Vol. 2 No. 1, 2017.
  4. Sularyo, Titik Sunarwati dkk. Retardasi Mental. Sari Pediatri, Vol. 2, No. 3, Desember 2000. https://saripediatri.org/index.php/sari- pediatri/article/view/1036
  5. Fahruddin, Adi P.hD. Teknik Token Ekonomi Dalam Pengubahan Perilaku Klien. Informasi, Vol. 17, No. 03 Tahun 2012.
  6. Mihmidaty, Ghiyats. Terapi Suportif Untuk Menurunkan Depersonalisasi Pada Pasien Skizofrenia Hebefrenik di RSJRW Lawang Malang. Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019 PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0: PELUANG & TANTANGAN Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019. fppsi.um.ac.id/wpcontent/uploads/2019/07/Ghiya ts-Mihmidaty.pdf www.researchgate.net/publication/308995891_TEKNIK_EKONOMI_TOKEN_DALAM_PENGUBAHAN_PERILAKU_KLIEN_Token_Economy_Technique_in_the_Modification_of_Client_ Behavior
  7. Lisnawati, Lilis dkk. Analisis Keberhasilan Terapi Bermain terhadap Perkembangan Potensi Kecerdasan Anak Retardasi Mental Sedang Usia 7–12 Tahun. MKB, Volume 46 No. 2, Juni 2014. http://journal.fk.unpad.ac.id/index.php/mkb/articl e/view/277
  8. Muriyawati dkk. Pengaruh Pemberian Token Ekonomi Terhadap Motivasi Belajar Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Sekolah Dasar Vol. 2, No. 2 Agustus 2016. https://www.neliti.com/id/publications/70977/pen garuh-pemberian-token-ekonomi-terhadap- motivasi-belajar-siswa-sekolah-dasar https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/phpj/arti cle/view/10994