Abstract

This study aims to test empirically whether there is a relationship between self efficacy and job satisfaction in disabled workers at PT. Maspion Unit 1 Sidoarjo. Self efficacy in question is a motivator in the individual about the beliefs owned to organize and display the actions needed to succeed in completing tasks owned by workers with disabilities. Self-efficacy has a close relationship with work processes in employees. Based on the work process carried out by workers with disabilities owned self-efficacy will have an impact on job satisfaction both related to themselves and with the company.This research was conducted on disabled workers in PT. Maspion Unit 1 Sidoarjo as many as 56 people, consisting of 23 female subjects and 33 male subjects. Based on the age of the research subjects categorized from the age of 33 years - 54 years. And based on the work period of research subjects ranging from 13 years to 16 years of work. Data collection tool in the form of a Likert scale questionnaire, which consists of two measuring devices, namely a self efficacy measuring device consisting of 30 items and a job satisfaction measurement consisting of 54 items. Based on the analysis of research data, the correlation between self-efficacy and job satisfaction among workers with disabilities is 0.005 and p is 0.371; correlation between self efficacy and job satisfaction in disabled workers. This shows that there is a significant correlation between self efficacy and job satisfaction among disabled workers at PT. Maspion Unit 1 Sidoarjo.

P ENDAHULUAN

Survei Penduduk Antar Sensus atau Supas BPS pada 2015 menunjukkan jumlah penyandang disabilitas Indonesia sebanyak 21,5 juta jiwa. jumlah penyandang cacat di Indonesia tidak sedikit. Oleh karena itu, keberadaan penyandang cacat seharusnya tidak dipandang sebelah mata. Penyandang cacat juga memiliki potensi-potensi yang perlu untuk dikembangkan. Namun, ketika dihadapkan pada hambatan fisik yang mereka alami, ruang gerak penyandang cacat dalam bersosialisasi dengan masyarakatnya semakin terjepit sehingga mereka tidak mampu mengoptimalkan eksistensinya sebagai anggota masyarakat. Salah satunya ketika mereka mencari pekerjaan.

Perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia mempunyai standar masing-masing untuk menentukan calon pekerjanya. Standar yang telah ditetapkan tersebut tentunya harus mendukung dengan tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan sebelumnya. Selain pekerja yang memiliki kualifikasi tertentu yang akan direkrut, perusahaan juga mempertimbangkan dari aspek lainnya, misalnya sumber daya manusia yang memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu. Orang-orang yang seperti itu biasanya dianggap sebelah mata oleh perusahaan. Oleh sebab itu, pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan untuk membantu orang-orang yang mempunyai keterbatasan-keterbatasan supaya mereka juga dapat ikut serta menjadi bagian dalam perusahaan.

Dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam UU ini, Pasal 1 menyebutkan bahwa penyandang disabilitas, yang juga mengacu pada definisi yang dikeluarkan World Health Organization (WHO), adalah setiaporang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental,dan/ atau sensorik dalamjangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Dalam UU No. 8 Tahun 2016 Pasal 4 menyebutkan bahwa penyandang disabilitas mencakup disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, dan atau disabilitas sensorik.

Untuk mengimplementasikan peraturan perundang-undangan tersebut perusahaan tentu tidak begitu saja merekrut pekerja cacat. Setiap perusahaan mempunyai kualifikasi terhadap masing-masing jenis pekerjaan yang ada didalamnya. Pemenuhan kualifikasi terhadap masing-masing pekerjaan akan menghasilkan kepuasan kerja bagi perusahaan dan pekerjanya.

Kepuasan kerja tersebut bukan berkaitan dengan kepuasan materi saja, tetapi menyangkut perasaan (merasa senang, merasa nyaman) seseorang terhadap pekerjaan serta generalisasi sikap-sikap (person job fit; jika perusahaan salah menempatkan yaitu orang yang tidak memenuhi kualifikasi kapasitas dari pekerjaan yang telah ditetapkan kepadanya maka akan mempengaruhi kepuasan kerja dan menjadi kurang tepat). Kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang[1]. Kepuasan kerja memiliki keterkaitan yang sangat besar terhadap sikap kerja, situasi kerja, kerjasama di dalam suatu perusahaan. Kepuasan kerja itu memiliki kaitan terhadap kesejahteraan. Baik terhadap perusahaan maupun pekerjanya. Menurut Victor H. Vroom[2] disebutkan bahwa tingkat kepuasan kerja yang tinggi akan menghasilkan tingkat produktifitas yang lebih baik, jumlah absensi yang sedikit serta loyalitas yang lebih tinggi dari karyawan.

Penelitian dari Luthans[1] dimana dua penelitian dilakukan untuk menganalisa bagaimana harapan, resilience, optimis dan efficacy dari individu sebagai gabungan dari faktor yang tinggi memprediksikan kinerja serta kepuasan kerja. Dari penjelesan tersebut dapat diketahui bahwa self efficacy dari individu merupakan faktor yang berperan penting terhadap kepuasan kerja. Penelitian lain yang dilakukan oleh Fendy Suhariadi, dkk[1] tentang kepuasan kerja karyawan PT. Telkom Divre VII Makasar menunjukkan bahwa kepuasan kerja ternyata berbeda-beda derajatnya pada beberapa level pekerjaan (job type, job stream, job skill dan job karakteristik).

Kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup menarik dan penting, karena bermanfaat baik bagi kepentingan individu, organisasi maupun masyarakat. Pada pekerja cacat self efficacy yang dimiliki ditunjukkan dengan kemampuan yang untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang dibebankan dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Luthans [1] dimana seseorang yang memiliki self efficacy yang tinggi maka akan memunculkan kepuasan kerja.

Bandura [3] mendefinisikan self efficacy sebagai pertimbangan seseorang akan kemampuannya untuk mengorganisasikan dan menampilkan tindakan yang diperlukan dalam mencapai kinerja yang diinginkan. Hal ini tidak tergantung pada jenis keterampilan atau keahlian yang dimiliki oleh seseorang, tetapi berhubungan dengan keyakinan tentang apa yang dapat dilakukan, dan menyangkut seberapa besar usaha yang dikeluarkan seseorang dalam suatu tugas dan seberapa lama ia akan bertahan. Seseorang yang memiliki self efficacy tinggi dalam situasi tertentu akan mencurahkan perhatian dan usahanya sesuai dengan situasi yang ada, dan ketika menghadapi situasi-situasi yang sulit dan membingungkan, individu ini akan mencoba menghadapinya dengan memaksimalkan segala potensi yang dimilikinya. Secara umum self efficacy dapat dikatakan sebagai kepercayaan individu mengenai apa yang dapat dikerjakan oleh mereka pada suatu tugas tertentu.

Menurut Alan Boulton Direktur Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) untuk Indonesia menyatakan bahwa di Indonesia pekerja penyandang cacat belum memenuhi kuota yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu disimpulkan bahwa, para penyandang cacat yang ada di Indonesia, kurang mendapat perhatian sehingga mereka tetap saja menganggur, dan miskin. Sebagaimana warga negara yang lain, penyandang cacat (difabel) berhak memperoleh pekerjaan yang layak. Pekerjaan yang layak adalah pekerjaan produktif dalam kondisi bebas, adil, aman dan memperhatikan serta menjaga harga diri seseorang sebagai human-being. Difabel memiliki perbedaan dan kemampuan yang khas, dan mereka berhak memilih apa yang ingin dilakukan sesuai dengan kemampuan bukan berdasarkan kecacatan. Menurut Resolusi PBB No.48/96 menyebutkan bahwa penyandang cacat seharusnya memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan akses pendidikan, pelatihan kejuruan, penempatan kerja dan peluang untuk mengembangkan usaha yang sama sebagaimana warga negara lain. Dimana setiap individu memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan dan mengambil tindakan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu tugas. Hal ini tidak berhubungan dengan keahlian yang dimilikinya tapi dengan pertimbangan bahwa dia mampu melakukan segala macam tugas dengan semua keahlian yang dimilikinya.

Keterbatasan secara fisik yang dimiliki oleh seseorang yang bekerja tidak menjadi hambatan bagi mereka untuk mengembangkan kemampuan serta potensi dalam berorganisasi dan menyelesaikan tugas-tugas di pekerjaannya. Di dalam suatu perusahaan yang memperkerjakan pekerja cacat akan mendesain sedemikian rupa lingkungan kerjanya sehingga akan memudahkan pekerjanya untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.

Seorang pekerja setelah mampu untuk menunjukkan kinerja yang baik, maka dengan sendirinya akan memiliki kepuasan kerja dalam dirinya. Sebagaimana diketahui bahwa kepuasan kerja yang dimaksud disini adalah perasaan seseorang terhadap pekerjaannya; lebih jauh lagi adalah perasaan senang atau puas terhadap pekerjaan yang digelutinya.

Keberhasilan seorang pekerja cacat yang memiliki self efficacy terhadap dirinya yang akan digunakan oleh peneliti untuk mengetahui kepuasan kerja yang dapat dicapai oleh pekerja cacat. Bagaimanakah seorang pekerja cacat menumbuhkan self efficacy dari dalam dirinya? Apakah pekerja cacat memiliki keyakinan bahwa dia mampu untuk menyelesaikan pekerjaan yang nantinya akan berkaitan dengan kepuasan kerja? Munculnya pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang menarik peneliti untuk mencoba menjawab dalam penelitian ini.

M ETODE

Populasi dalam penelitian ini adalah pekerja cacat yang bekerja di PT.Maspion Unit 1 Sidoarjo. Pemilihan PT. Maspion Unit 1 dikarenakan di perusahaan tersebut memperkerjakan pekerja cacat sehingga mendukung penelitian. Jumlah keseluruhan pekerja cacat di PT. Maspion Unit 1 Sidoarjo berjumlah 64 orang. Pada penelitian ini subjek penelitian yang digunakan adalah pekerja cacat yang bekerja di PT. Maspion Unit I Sidoarjo yang berjumlah 56 orang yang terdiri dari karyawan divisi enamel. Pekerja cacat yang ada di PT. Maspion Unit 1 Sidoarjo adalah tuna rungu.

Dalam kuesioner ini didalamnya mengukur aspek penting yaitu aspek self efficacy dan aspek kepuasan kerja. Dimana aspek self efficacy terdiri dari 30 butir dan aspek kepuasan kerja terdiri dari 54 butir. Berikut ini adalah blue print dari kedua variabel penelitian:Table 1

Aspek Sub - Aspek yang ingin diukur No. Aitem
Fav Unfav
Self Efficacy Pemilihan perilaku untuk menghadapi situasi-situasi yang spesifik 1,3,4 9,10,11 6
Keinginan untuk menyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin 2,5,8 12,13,14 6
Perasaan mampu mengendalikan situasi-situasi tertentu 6,7,21 24,25,27 6
Pemikiran untuk melakukan sesuatu agar masalah dapat terpecahkan 15,16,20 18,28,30 6
Mampu berada dalam situasi yang penuh tekanan dengan percaya diri dan kepastian 17,19,29 22,23,26 6
Kepuasan Kerja Perasaan senang atas pekerjaan itu sendiri 1,10,19 28,30,39 6
Perasaan senang atas mutu pengawasan dan pengawas 2,11,20 31,40,48 6
Perasaan senang atas hubungan antar karyawan 3,12,21 29,32,41 6
Perasaan senang terhadap promosi 4,13,22 33,42,53 6
Perasaan senang atas imbalan yang diterima 5,14,23 34,43,49 6
Perasaan senang atas kondisi kerja 6,15,24 35,44,50 6
Perasaan senang atas perusahaan dan manajemen 7,16,25 36,45,51 6
Keuntungan bekerja di perusahaan 8,17,26 37,46,54 6
Perasaan senang atas mendapat pengakuan 9,18,27 38,47,52 6
Total 84
Table 1.pengukuran aspek self efficacy dan aspek kepuasan kerja

Sistem penilaian skala yang digunakan pada skala self efficacy dan skala kepuasan kerja adalah sistem skala Likert, pada skala tingkat kesepian yang telah dimodifikasi menjadi empat alternatif jawaban dengan skor aitem bergerak dari 1 sampai dengan 4. Semakin tinggi skor, semakin tinggi tingkat self efficacy. Sedangkan, pada skala kepuasan kerja smartphone dimodifikasi menjadi empat alternatif jawaban dengan skor aitem bergerak dari 1 sampai dengan 4. Semakin tinggi skor, semakin tinggi tingkat kecanduan kepuasan kerja.

Metode analisis data yang akan digunakan pada penelitian ini adalah analisis Korelasi Product Moment yang menggunakan bantuan program SPSS for windows versi 13.00 untuk membuktikan adanya hubungan antara self efficacy dan kepuasan kerja.

H ASIL DAN P EMBAHASAN

Pada penelitian ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan dari data-data yang diperoleh melalui kegiatan yang dilakukan yaitu data penelitian mengenai Hubungan Antara Self Efficacy dan Kepuasan Kerja pada Pekerja Cacat.

Dari hasil penyebaran kuesioner yang dilakukan 56 pekerja cacat tuna rungu di PT. Maspion 1 sebagai responden, dalam memperoleh gambaran umum responden dari penelitian yang dilakukan untuk mengetahui “Hubungan Antara Self Efficacy dan Kepuasan Kerja pada Pekerja Cacat”.

Selanjutnya diuraikan menjadi beberapa bagian yang meliputi jenis kelamin dan usia dapat kita lihat sebagai berikut:Table 2

Jenis Kelamin Jumlah Peresentase (%)
Pria 33 59
Wanita 23 41
Total 56 100
Table 2. Data responden berdasarkan jenis kelamin

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah responden pria sebanyak 33 orang atau 59% dan jumlah responden perempuan sejumlah 23 orang atau 41%.

Hasil penelitian mengenai data pribadi responden berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel di bawah ini:Table 3

Usia (tahun) Frekuensi Persentase (%)
33 3 5,4%
34 4 7,1%
35 3 5,4%
37 2 3,6%
38 5 9%
39 5 9%
40 8 14,2%
41 3 5,4%
42 8 14,2%
43 7 12,5%
44 1 1,8%
45 1 1,8%
46 3 5,4%
50 1 1,8%
52 1 1,8%
54 1 1,8%
Total 56 100
Table 3. Data Responden Berdasarkan Usia

Dari tabel diatas diketahui bahwa responden yang berusia 40 tahun paling banyak menjadi responden dalam penelitian ini.

Hasil penelitian mengenai jumlah responden berdasarkan masa kerja dapat dilihat pada tabel di bawah ini:Table 4

Masa Kerja (Tahun) Jumlah Responden Persentase (%)
13 1 1,8%
14 7 12,5%
15 16 28,6%
16 32 57,1%
Total 56 100
Table 4. Data Responden Berdasarkan Masa Kerja

Dari tabel 5 diatas diketahui bahwa responden yang yang memiliki masa kerja 16 tahun sejumlah 32 orang menjadi responden terbanyak dalam penelitian ini.

Pada penelitian ini menggunakan analisis data Product Moment yang merupakan suatu hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Korelasi tersebut menunjukkan sifat sebab akibat, maka korelasinya dikatakan kausal, artinya variabel yang satu merupakan sebab, dan variabel lainnya merupakan akibat. Berikut ini analisis data correlations:Table 5

Hasil

self_efficacy kepuasan_kerja
self_efficacy Pearson Correlation 1 .371(**)
Sig. (2-tailed) .005
N 56 56
kepuasan_kerja Pearson Correlation .371(**) 1
Sig. (2-tailed) .005
N 56 56
Table 5. Correlations

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Dari tabel diatas diketahui bahwa nilai korelasi kedua variabel sebesar 0,371. Nilai tersebut menunjukkan adanya korelasi lemah yang terdapat pada range 0,201-0,400. Sehingga dapat diinterpretasikan bahwa hubungan antara self efficacy dan kepuasan kerja yang terdapat pada pekerja cacat memiliki korelasi lemah. Selanjutnya tidak ditemukan adanya tanda negatif (-) didepan nilai korelasi (0,371) yang berarti bahwa korelasi memiliki pola positif atau searah. Semakin tinggi self efficacy pekerja cacat maka semakin tinggi pula kepuasan kerja yang dimiliki pekerja cacat.

Selain itu tabel diatas juga menunjukkan bahwa signifikansi untuk uji hubungan dalam penelitian ini adalah sebesar 0,005 atau nilai tersebut < 0,05 sehingga dapat diinterpretasikan bahwa hipotesis nol ditolak. Hubungan antara self efficacy dan kepuasan kerja adalah signifikan pada taraf kepercayaan 95% (Budi, 2006:100). Penelitian ini merupakan penelitian hubungan antar dua variabel, maka dapat dikatakan hasil yang diperoleh hanyalah sebatas membuktikan ada tidaknya hubungan antara kedua variabel. Dengan demikian, penelitian ini tidak mengkaji kemungkinan adanya hubungan sebab akibat atau kausalitas antara dua variabel yang diteliti.

K ESIMPULAN

Berdasarkan analisis menggunakan program SPSS versi13.00 menunjukkan bahwa ada hubungan self efficacy dan kepuasan pada kepuasan kerja pada pekerja cacat.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:

  1. Penelitian yang sejenis perlu lebih banyak dilakukan dengan topik yang serupa namun lebih dikembangkan karena mengingat banyaknya sumber daya manusia yang memiliki keterbatasan-keterbatasan dan sedikit sekali diperhatikan oleh perusahaan.
  2. Peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian pada populasi yang lebih luas agar hasil dapat lebih digeneralisasikan
  3. Peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian pada populasi yang lebih luas agar hasil dapat lebih digeneralisasikan.
  4. Peneliti selanjutnya disarankan untuk menggunakan metode lain seperti wawancara dan observasi sebagai pendukung data, agar hasil yang didapatkan lebih mendalam dan faktor-faktor yang mempengaruhi dapat terungkap secara jelas serta terperinci.

U CAPAN T ERIMA K ASIH

Terimakasih kepada Allah SWT yang telah melancarkan proses penelitian ini, selain itu kepada teman-teman yang sudah berkontribusi terhadap penelitian ini, tak lupa juga ucapan terimakasih kepada dosen pembimbing penelitian ini.

References

  1. Luthans, F., Avolio, J.B., Avey, J.B., & Norman, S., (2007). Positive Psychological Capital: Measurement And Relationship With Performance And Satisfaction. Autumn 60, 541.
  2. Vroom, Victor. (1964). Work and Motivation. New York. Wiley
  3. Bandura, A. (1977). Self Efficacy : Toward a Unifying Theory Of Behavioural Change.
  4. Budi, TP. (2006). SPSS 13.00 Terapan Riset Statistik Parametrik. Yogyakarta : CV Andi Offset Azwar, S, (2004). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.