Articles
DOI: 10.21070/icecrs2020458

Application of Economy Tokens to Reduce Gadgets Addiction to Children


Penerapan Token Economy untuk Mengurangi Kecanduan Gadget pada Anak

Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Indonesia
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Indonesia
gadget addiction token economy

Abstract

In the era of globalization, one of the effects of globalization is that the rapid technological development makes it easy for everyone to access all kinds of information through gadgets. Gadgets that initially made it easy for everyone will turn into a negative thing if you can not control yourself to use it, design with interesting features that might make someone want to linger to use it to feel dependent on the gadget. This research aims to reduce gadget addiction behavior in children. The research method is an experimental method with a case study approach is to provide Economy Tokens in order to control the behavior of children so they do not play gadgets for a long time. The token economy is given for 3 weeks and subjects must collect 5 stickers each week and then they will be exchanged for gifts in the form of toys they want. The subject is a child who is 7 years old in Ambon. Based on the analysis it can be concluded that the application of token economy can reduce gadget addiction in children. The subject's behavior is more controlled and is responsible for the decisions taken and their consequences. Another impact is the subject has good social interaction with people around him.

P ENDAHULUAN

Kemajuan teknologi sekarang ini sangat pesat dan semakin canggih. Banyak teknologi canggih yang telah diciptakan membuat perubahan yang begitu besar dalam kehidupan manusia di berbagai bidang. Sepertinya gadget dapat memberikan dampak yang begitu besar pada nilai-nilai kebudayaan. Sekarang ini setiap orang di seluruh dunia pasti sudah memiliki gadget. Tak jarang kalau sekarang ini banyak orang yang memiliki lebih dari satu gadget.

Sekarang ini pengguna gadget tidak hanya berasal dari kalangan pekerja. Tetapi hampir semua kalangan termasuk anak dan balita sudah memanfaatkan gadget dalam aktifitas yang mereka lakukan setiap hari. Hampir setiap orang yang memanfaatkan gadget menghabiskan banyak waktu mereka dalam sehari untuk menggunakan gadget. Oleh karenanya gadget juga memiliki nilai dan manfaat tersendiri bagi kalangan orang tertentu.

Akan tetapi banyak dampak negatif yang muncul dalam pemanfaatan geadget bagi kalangan remaja, anak, bahkan balita. Meskipun sebagian besar dari masyarakat memanfaatkan gadget untuk komunikasi, urusan pekerjaan atau bisnis, mencari informasi, ataupun hanya sekedar untuk mencari hiburan.

Seperti yang terjadi di Jawa Barat yang diambil dari detiknews 10 oktober 2019, anak menjadi tempramental dia tidak bisa mengendalikan emosinya. Ada kasus itu saat mati lampu, anaknya itu minta dicas HP-nya, malah mengamuk hancurkan pintu kamar.

Pada DSM IV kecanduan ini diartikan sebagai suatu ketergantungan atau adiksi terhadap sesuatu atau zat yang dapat merugikan tubuh. Ketergantungan ini juga lebih sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari. ketergantungan ini menggambarkan penggunaan secara patologis atau berlebihan pada suatu stimulus[1]. Berdasarkan pengertian di atas, kecanduan atau adiksi ini dapat terjadi juga pada gadget. Kecanduan Gadget adalah ketergantungan atau adiksi yang dialami oleh individu terhadap alat atau perangkat elektronik yang memiliki fungsi khusus pada setiap perangkatnya. Kerugian yang diakibatkan karena kecanduan gadget sebenarnya dirasakan oleh para pecandu gadget, akan tetapi mereka sulit melepaskan diri dari kecanduannya dan mengalami kesulitan untuk mengarahkan waktu dan energinya untuk kegiatan-kegiatan yang lebih positif dan menguntungkan.

Faktor yang mempengaruhi Kecanduan Gadget menurut Yuwanto[2] dalam penelitiannya mengenai mobile phone addict mengemukakan beberapa faktor penyebab kecanduan gadget yaitu: Faktor internal, faktor situasional, faktor sosial, faktor eksternal.

Menurut Skinner Operant conditioning adalah belajar melalui respon dan konsekuensi[3]. Ada dua prinsip dalam operant conditioning; pertama respon atau perilaku yang diikuti reinforcing stimulus akan cenderung untuk diulangi dan kedua reinforcing stimulus akan meningkatkan kemunculan perilaku operant atau operant respon[4]. Skinner mengungkapkan bahwa model belajar meliputi tiga komponen; yaitu antecedent, respon atau perilaku dan konsekuensi[3]. Antecedent merupakan kejadian atau konteks sebelum kemunculan perilaku, sedangkan konsekuensi merupakan hasil dari perilaku dan akan menentukan apakah perilaku tersebut akan muncul kembali[3].

Token economy merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran khususnya sebagai upaya dalam pembentukan perilaku anak. Pelaksanaan token economy yaitu dengan menggunakan reward sebagai penguat perilaku anak. Menurut Corey[5], pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku. Hadiah atau pemerkuat dimaksudkan agar seseorang termotivasi untuk melakukan sesuatu atau berperilaku sesuai yang telah ditentukan dan berlaku dilingkungan tempat token economy tersebut diterapkan.

Token economy adalah penerapan operant conditioning dengan mengganti hadiah langsung dengan sesuatu yang dapat ditukarkan kemudian, misalnya kupon[6]. Pada dasarnya, token economy mirip dengan yang dijumpai dalam kehidupan nyata, dimana seorang pekerja dibayar untuk hasil pekerjaan mereka. Token economy seperti orang yang bekerja kemudian mendapat upah/ gaji setelah melaksanakan pekerjaan sesuai kontrak. Gaji dalam hal ini sama halnya dengan kepingan. Sementara pekerjaan adalah perilaku anak yang sesuati target.

Edi Purwanta[7] menyatakan bahwa Token Economy atau Tabungan Kepingan merupakan salah satu teknik modifikasi perilaku dengan cara pemberian satu kepingan (atau satu tanda, satu isyarat) sesegera mungkin setiap kali setelah perilaku sasaran muncul. Pendapat-pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Martin dan Pear[8] yang menyatakan, token economy adalah sebuah program dimana sekelompok individu akan memperoleh tokens ketika mereka melakukan perilaku yang ditargetkan, dan dapat menukar tokens tersebut dengan hadiah.

Token economy dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila persetujuan dan pemerkuat-pemerkuat yang tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan pengaruh[5]. Dalam pelaksanaan token economy, pemerkuat atau pengukuh yang digunakan yaitu berupa benda-benda konkret. Pemberian penguatan yang dilakukan diwujudkan secara visual berupa token atau kepingan sebagai tanda-tanda. Beberapa jenis kepingan atau tanda-tanda yang dapat digunakan sebagai simbol pengukuhan, antara lain adalah: bintang, kertas kupon, koin, kertas warna, stiker, kancing plastik, dan sebagainya.

Menurut Pervin, Cervove dan John[9], pada token economy, teknisi behavioral memberikan imbalan, berwujud token, untuk berbagai perilaku anak yang dianggap diinginkan (desirable). Ini sesuai dengan pendapat Corey[5] yaitu, tingkah laku yang layak bisa diperkuat dengan pemerkuat -pemerkuat yang bisa diraba (tanda-tanda seperti kepingan logam) yang nantinya bisa ditukar dengan objek-objek atau hak istimewa yang diingini. Dalam melaksanakan token economy, salah satu prinsip yang harus diperhatikan adalah karakteristik kepingan itu sendiri. Edi Purwanta[10] menjelaskan meskipun bahan, ukuran, dan jenis kepingan berbeda-beda namun kepingan harus memiliki karakternya, yaitu dapat dilihat, diraba, dan dihitung.

Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya tujuan pelaksanaan token economy adalah untuk menguatkan perilaku yang diinginkan dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan sesuai dengan target perilaku yang telah ditetapkan. Target perilaku hendaknya disesuaikan dengan kebiasaan atau norma dan aturan yang berlaku di lingkungan di mana token economy tersebut diterapkan. Dalam hal ini, tujuan pelaksanaan token economy di lingkungan anak adalah mendorong anak untuk berperilaku disiplin dalam bermain gadget.

Token economy diterapkan dengan melakukan perencanaan dan pelaksanaan secara cermat. Menurut Edi Purwanta[10], secara umum pelaksanaan token economy ada tiga tahap yang harus diperhatikan supaya pelaksanaan program ini dapat berjalan dengan baik. Tiga tahapan tersebut, antara lain sebagai berikut:

Tahap Persiapan

Menurut Napsiah Ibrahim dan Rohana Aldy[10], pada tahap persiapan ada empat hal yang perlu dipersiapkan, yaitu:

  1. Menentukan target tingakah laku yang akan dicapai dengan menetapkan tingkah laku yang akan dubah.
  2. Menentukan barang atau kegiatan yang akan menjadi penukar kepingan.
  3. Memberi nilai atau harga untuk setiap kegiatan yang ditargetkan dengan keinginan.
  4. Menetapkan harga barang atau kegiatan penukar.

Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan diawali dengan pembuatan kontrak antara anak dengan praktikan mengenai aturan dalam pelaksanaan token economy. Buatlah kesepakatan mengenai pelaksanaan token economy, sampaikan perancanaan yang telah dibuat. Jelaskan kepada anak tentang aturan-aturan pelaksanaan teknik ini. Kegiatan yang sederhana, biasanya kontraknya cukup secara lisan dan keduanya dapat saling memahami, tetapi pada kegiatan yang kompleks sering kontrak dapat ditulis dan ditandatangani oleh keduanya dan bahkan ada sanksi[7].

Persyaratan pelaksanaan teknik ini pun hendaknya jelas. Persyaratasn dijelaskan di awal saat membuat kesepakatan dengan anak, sehingga teknik ini dapat terlaksana dengan lancar. Pemilihan pengukuh juga perlu diperhatikan, pilihlah pengukuh yang macam dan kualitasnya memadai. Pengukuh yang macam dan kualitasnya memadai ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan atau tahap perkembangan anak. Misalkan saat memilih alat permainan sebagai pengukuh, pastikan alat permainan tersebut sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak serta aman untuk anak-anak.

Ketika tingkah laku yang ditargetkan muncul, maka segera berikan kepingan kepada anak. Setelah kepingan dinilai cukup, bimbing anak untuk menukarkan kepingan dengan hadiah yang diinginkannya. Martin dan Pear[8] menyarankan, ketika memberikan kepingan atau tokens, beritahu pada anak tentang perilaku yang mereka tunjukkan, hal ini dilakukan agar anak fokus terhadap perubahan perilaku yang diharapkan bukan semata-mata karena tokens akan yang mereka peroleh. Jadi, harus kita ingat bahwa token economy bertujuan membentuk perilaku bukan semata-mata memberikan hadiah, dan hadiah hanya sebagai alat dalam pelaksanaan token economy.

Penukaran kepingan dapat dilakukan setiap hari maupun setiap akhir pelaksanaan teknik ini, misalkan penukaran kepingan dilakukan seminggu sekali setiap hari sabtu. Ini sependapat dengan Martin dan Pear[8] yaitu, pada awalnya baik untuk memberikan pemerkuat sesering mungkin; namun demikian, ketika anak yang mulai tidak tergantung dengan pemerkuat maka pemberian pemerkuat dapat dikurangi durasinya. Adapun pendapat lain dari Stainback dan Payne[8] merekomendasikan bahwa penukaran kepingan dilakukan sekali atau dua kali per hari selama tiga atau empat hari dan kemudian turunkan frekuensi penukaran hadiah hingga hanya sekali per minggu selama tiga minggu pelaksanaan token economy. Hal tersebut dapat mengajarkan kepada anak untuk konsisten terhadap perilaku yang ditargetkan.

Pada penelitian kali ini pelaksanaannya dilakukan dirumah serta dimonitoring oleh peneliti dan orang tua dari subjek. Saat subjek mampu mengumpulkan 5 stiker senyum karena klien berhasil mengontrol dirinya dalam bermain gadget. Dan hadiah yang diterima berupa permainan lego atau lebih dikenal dengan permainan bongkar pasang.

Tahap Evaluasi

Tahap ini dilakukan setelah pelaksanaan program. Pada tahap ini akan diketahui faktor-faktor apa yang perlu ditambah ataupun dikurangi dalam daftar pengukuhan atau pengubahan tingkah laku yang telah dilaksanakan tersebut.

M ETODE

Metode penelitian yang digunakan adalah modifikasi perilaku penerapan token economy dalam mengurangi dan menghilangkan kecanduan gadget. Dengan menggunakan instrument observasi subjek yang berpedoman kepada Aspek kecanduan Gadget menurut Young[11] yakni 1) Perilaku/Ciri Khusus (Salience), 2) Penggunaan yang berlebihan (Excessive use), 3) Pengabaian pekerjaan (Neglect to work), 4) Antisipasi (Anticipation) artinya Gadget digunakan sebagai sarana untuk melarikan diri atau mengabaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan nyata seseorang. Karena kebiasaan ini, seseorang akan terbiasa melarikan diri dari permasalahan melalui gadget. Gadget digunakan sebagai strategi coping dari masalah yaitu sarana untuk melarikan diri atau mengabaikan permasalahan yang terjadi dikehidupan nyata, lama kelamaan aktivitas dengan gadget menjadi aktivitas yang paling penting dalam hidup sehingga mendominasi pikiran, perasaan dan perilaku, 5) Ketidakmampuan mengontrol diri (Lock of control) dan 6) Mengabaikan akan kehidupan sosial (Neglect to social life). Peneliti melakukan wawancara kepada orang tua subjek juga untuk mendapat tambahan data mengenai kecanduan subjek. Diberi tes psikologi sebagai pendukung untuk melihat kecerdasan dan kepribadian subjek. Kemudian dilakukan intervensi dengan pemberian token economy selama 3 sesi dalam kurung waktu 3 minggu. Jika subjek mampu mengumpulkan sticker sebanyak 5 sticker per minggu maka subjek akan menukar sticker tersebut dengan mainan yang diinginkannya yaitu lego. Hasilnya akan dianalisis secara deskriptif oleh peneliti. Subjeknya yaitu seorang anak laki-laki berusia 7 tahun di Ambon.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Tes Psikologi.

Perilaku subjek yang bermasalah mulai muncul pada saat subjek berusia 4 tahun. Saat kelahiran adiknya, orang tuanya kemudian kesulitan bila harus menjaga keduanya secara bersamaan. Akhirnya, subjek diberikan gadget oleh ibunya agar subjek tenang dan tidak bermain diluar rumah serta tidak mengganggu adiknya. Awalnya masih bisa dikendalikan, akan tetapi lama-kelamaan subjek menjadi terbiasa dan tidak bisa terlepas dari gadget. Sampai saat memasuki usia ke 5 tahun, klien diberikan hadiah ulangtahun dari salah seorang tantenya yaitu sebuah gadget. Disitu subjek merasa bahagia, dia sudah tidak perlu memainkan gadget dari punya orang didalam rumah karena dia sudah punya gadgetnya sendiri.

Dari hasil asesmen yang dilakukan lewat tes binet dapat telah diketahui bahwa taraf kecerdasannya subjek diatas rata-rata, artinya subjek sudah mampu mengoptimalkan kemampuan dirinya, dia mampu menjalankan perintah sederhana yang diberikan oleh orang lain. Walaupun, saat diberi perintah, subjek masih melaksanakan sambil memainkan gadgetnya. Contohnya, saat makan pun subjek akan makan sambil memainkan gadgetnya. Perbendaharaan kata yang dimiliki subjek juga sudah cukup baik dan juga dia mampu memahami masalah-masalah sederhana dan bisa menyelesaikan permasalahan tersebut. Subjek mampu mendefinisikan gambar atau kata-kata dengan cukup baik. Subjek cukup mampu mengoptimalkan kemampuan mengingat dan berkonsentrasi dengan baik, seperti mengingat gambar, serta menyebut hari. Hanya saja ketika klien dalam keadaan terdesak diminta untuk mengingat benda atau sesuatu, itu akan membuat subjek menjadi tidak fokus dan lambat dalam berpikir.

Yuwanto[2] salah satu faktor yang menjadi kecanduan gadget adalah faktor Situasional. Seperti merasa kesepian, stres karena tidak dapat berinteraksi dengan orang lain. r penyebab yang mengarah pada penggunaan gadget sebagai sarana membuat individu merasa nyaman secara psikologis ketika menghadapi situasi yang tidak nyaman, dapat menjadi penyebab kecanduan gadget. Ini juga merupakan salat satu penyebab karena subjek tidak diperbolehkan bermain diluar rumah dan juga agar tidak mengganggu adiknya subjek diberikan gadget untuk dapat tenang.

Sesuai dengan data CAT menunjukkan subjek memiliki rasa cemburu kepada saudara kandungnya. Dia takut posisinya terancam dan tidak mendapat kasih sayang lagi. Akan tetapi subjek sejujurnya membutuhkan orang lain dan ingin berinteraksi dengan orang lain. Subjek tidak banyak bercerita tentang ibunya. Karena orang tua subjek memang memiliki didikan yang keras kepada mereka. Jika subjek melakukan kesalahan dia akan dipukuli dan ditegur dengan nada suara yang keras. Sosok ayah bahkan tidak disebutkan subjek , karena memang ayahnya selalu sibuk dengan bekerja.

Subjek dapat bermain gadget lebih dari 6 jam setiap harinya. Saat pulang sekolah klien akan main gadgte sampai malam. Saat makan pun akan dibarengi dengan memainkan gadgetnya. Subjek suka memainkan gadgetnya sendirian dan tidak ingin diganggu oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan aspek kecanduan gadget yaitu Perilaku Khusus yang ditunjukkan menurut Young.

Subjek pun mengabaikan pekerjaan-pekerjaannya. Subjek tidak ingat mengerjakan pekerjaan rumahnya jika tidak diingatkan sama halnya menurut Young yaitu Pengabaian pekerjaan (Neglect to work)

Subjek pun tidak mampu mengontrol dirinya serta mengabaikan kehidupan sosialnya . Subjek pernah bermain gadget sampai sakit matanya, subjek tidak mau beristirahat. Akan tetapi itu tidak membuatnya berhenti atau berkurang bermain gadget. Dia tetap stabil memainkan gadgetnya. Subjek menjadi malas untuk keluar rumah dan berbaur dengan orang lain selain dari teman-temannya disekolah. Orang tua klien pun tidak mampu mengontrol dan membatasi klien akibatnya klien menjadi kecanduan gadget.

Hasil Intervensi

Setelah diberi intervensi, subjek mampu mengurangi hingga menghilangnya kebiasaan bermain gadget pada subjek.Table 1

Sebelum Sesudah
Sebelum adanya perlakuan, subjek selalu memainkan gadgetnya lebih dari 6 jam setiap harinya. Saat gadgetnya di ambil atau tidak diberikan kepadanya subjek akan marah dan memberontak. Pada saat pemberian token economy awalnya subjek masih sering lupa akan tetapi sambil diingatkan oleh peneliti agar subjek selalu membatasi dirinya dalam bermain gadget.Akan tetapi subjek lama kelamaan menjadi terbiasa dan perlahan melupakan gadget karena juga didukung oleh hari liburan dan banyak saudara yang berkumpul. Saat menerima rewardnya dia senang dan bahagia. Dia hanya memainkan gadgetnya untuk melihat cara menyusun mainannya tersebut. Sampai pada minggu ke 2 subjek mampu melaksanakannya dengan baik
Table 1.hasil intervensi

Berarti pada penelitian ini menunjukkan bahwa token economy memberi dampak positif terhadap penurunan tingkat kecanduan gadget pada anak. Anak menjadi disiplin dan bertanggungjawab kepada peraturan yang sudah dibuat dan disepakati bersama sehingga membuat anak tidak lagi memainkan gadgetnya. Hal tersebut sependapat dengan[5] yang menyatakan bahwa token economy merupakan salah satu contoh dari perkuatan ekstrinsik, yang menjadikan orang-orang melakukan sesuatu untuk meraih “pemikat di ujung tongkat”.

Sebelum menerapkan token economy pada anak, peneliti lebih dahulu menjelaskan tentang alur pelaksanaan token economy kepada orang tua yang juga membantu dalam palaksanaannya. Ini sesuai pernyataan Barton dan Tomlison[12] yang menyatakan bahwa agar pelaksanaan token economy dapat sukses maka pelaksana harus memahami tentang program ini dan siap melaksanakan program.

Dari proses pengurangan kecanduan gadget yang dilakukan dengan token economy, menunjukkan bahwa token economy memberi dampak positif dalam mengurangi bahkan menghilangkan kecanduan gadget pada anak. Salah satu faktor keberhasilannya adalah pemberian hadiah secara konsisten dan sesuai dengan keinginan anak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Corey [5]), pembentukan suatu pola tingkah laku dengan memberikan ganjaran atau perkuatan segera setelah tingkah laku tigkah laku yang diharapkan muncul adalah suatu cara yang ampuh untuk mengubah tingkah laku.

K ESIMPULAN

Setelah dilakukannya proses intervensi, sudah terlihat bahwa perilaku kecanduan gadget pada subjek sudah mulai berkurang dan dapat dibatasi. Hal tersebut di dukung oleh lingkungan yang membantu klien untuk bermain bersama subjek. Subjek menjadi melupakan gadgetnya sama sekali. Setelah dilakukan intervensi, peneliti menjanjikan akan memberi subjek hadiah tambahan untuk legonya agar subjek dapat lebih mengeksplore imjinasinya dalam menyusun legonya jika subjek mampu mempertahankan perilaku yang sudah terbentuk atau bahkan menghilangkan kecanduan gadgetnya jika stikernya dikumpulkan sampai 20 sticker dalam 2 minggu.

U CAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan tuntunannya saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Saya ucapkan terima kasih untuk :

  1. Pembimbing saya Ibu Dyan Evita Santi, S.Psi., Msi yang sudah membimbing dan memberi masukan sampai terselesaikannya penelitian ini. Kiranya berkat Tuhan selalu berlimpah kepada ibu.
  2. Orang tua subjek yang turut serta membantu agar penelitian ini berjalan dengan baik. Mampu memberi informasi dengan kooperatif dan membantu mengontrol perilaku subjek.
  3. Kepada semua teman-teman yang membantu dalam terselesaikannya jurnal ini. Saya ucapkan banyak terima kasih.

References

  1. Soetjipto, H.P. ”Pengujian validitas konstruk kriteria kecanduan internet”. Jurnal Psikologi UGM, 32(2), 74-91. 2004
  2. Yuwanto, L. “Mobile Phone Addict”. Surabaya: Putra Media Nusantara. 2010
  3. McCown, R., Driscoll, M., & Roop, P. G. “Educational Psychology: A Learning - Center Approach To Classroom Practice”. USA: Allyn and Bacon. 1996.
  4. Hergenhahn, B. R. dan Olson, Matthew H. “Theories of Learning (7th ed.)”. Jakarta: Prenada Media Group. 2008.
  5. Corey, G. “Teori Praktek Konseling dan Psikoterapi”. (Alih bahasa: E. Koeswara). Bandung: Refika Aditama. 2013.
  6. Suhaeri H. N. & Edi Purwanta. “Bimbingan Konseling Anak Luar Biasa”. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Guru. 1996.
  7. Edi Purwanta. “Modifikasi Perilaku”. Yogyakarta: Putaka Pelajar. 2012.
  8. Martin, G. & Pear, J. “Behavior Modification”. USA: Pearson Eduction. 2009.
  9. Cervone, D., & Pervin, L.A.”Kepribadian Teori dan Penelitian”. Jakarta: Salemba Humanika. 2012.
  10. Edi Purwanta. “Modifikasi Perilaku”. Yogyakarta: Putaka Pelajar . 2005.
  11. Maysita, A. R. “Pengaruh Kontrol Diri Terhadap Kecanduan Game Online Pada Pemain Dota 2 Malang”. Skripsi Fakultas Psikologi. UNISMA. Malang. 2016.
  12. Barton, L. & Tomlinson, S. “Special Education: Policy, Practices and Social Issues”. London: The Pitman Press. 1981.