Articles
DOI: 10.21070/icecrs2020462

Campus Madrasah Diniyah (CMD): Optimization of Islamic Education and Moral Education for Students


Campus Madrasah Diniyah (CMD): Optimalisasi Pendidikan Islam dan Pendidikan Moral bagi Mahasiswa

Universitas Negeri Malang
Indonesia
Islamic Education Moral Education Madrasah Diniyyah Campus Scholars

Abstract

In contemporary Indonesia, one of the biggest phenomenon is the muslim scholars moral decadence that caused by a religious knowledge deficiency. The things that muslim educationalists can do are devising a new innovation in teaching and learning of Islamic studies and introducing a new idea to decline the number of moral decadence in muslim scholars. Therefore, the researcher come up with an idea related to the problem-solving of declining the number of moral decadence – Campus Madrasah Diniyah (CMD). Madrasah Diniyyah is the religious school which study about the Islamic studies. It becomes the new innovation of Madrasah Diniyyah in this contemporary country which provide the Islamic studies for the scholars. Then the library research and the descriptive qualitative methods are used by the researcher to analyze the phenomenon inside the moral decadence of Indonesian Muslim scholars. Also, to get the data analysis, the researcher analyze the previous researches and some books which related to the phenomenon.

Pendahuluan

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, para pemegang peranan-peranan penting di Indonesia kebanyakan juga berasal dari umat islam. Sebagai aset umat islam, mahasiswa muslim hendaknya dibekali dengan kecerdasan intelektual, emosi, dan spiritual. Kecerdasan intelektual dapat mereka peroleh dari perkuliahan, sedangkan kecerdasan emosi dan spiritual diantaranya mereka peroleh dari pendidikan agama islam. Kedalaman dalam memahami agama secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat keimanan yang dimanifestasikan dalam bentuk perbuatan. Dibutuhkan lulusan perguruan tinggi yang memiliki kepribadian secara utuh, baik secara intelektual dan moralitasnya yang mampu terjun di masyarakat [1].

Kualitas pendidikan harus selalu ditingkatkan guna menghasilkan lulusan dari perguruan tinggi yang menghasilkan luaran sebagai sumber daya manusia berkualitas sesuai dengan ketetapan Departemen Pendidikan Nasional [2]. Pembelajaran bagi mahasiswa di perguruan tinggi kini bukan hanya ditekankan pada Intelectual Quotient (IQ), namun juga diberikan pembelajaran berdasarkan pengembangan Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ). Kemampuan seseorang dalam kecerdasan emosional dan spiritual harus memeliki proporsi yang seimbang dengan kecerdasan intelektual yang dimiliki. Keseimbangan tiga bentuk kecerdasan dapat menciptakan pribadi yang berkualitas [3].

Karakteristik perguruan tinggi yaitu terbukanya kesempatan untuk mahasiswa mengemukakan gagasannya tetapi sesuai dengan batasan norma yang berlaku. Lingkungan seperti ini dapat mengasah kemampuan intelektualitas mahasiswa dalam berpikir. Kegiatan diskusi antar mahasiswa dan tanya jawab dengan dosen merupakan bentuk komunikasi yang menyebabkan kecerdasan intelektual mahasiswa meningkat. Namun, kemampuan mahasiswa untuk bersikap saat berbicara dan mengahargai orang lain saat mengemukakan pendapat merupakan peran dari kecerdasan emosional untuk dapat menempatkan dirinya pada tempat yang semestinya.

Hal tersebut berbeda dengan lingkungan pondok pesantren, dimana keterbukaan berpikir dan mengemukakan pendapat lebih terbatas. Di pondok pesantren, seorang santri ditanamkan sikap tawadhu’, yaitumenempatkan diri lebih rendah kepada orang lain. Rasa segan untuk menyampaikan pendapat membatasi mereka untuk bertukar pikiran. Namun, hal tersebut merupakan merupakan cerminan dari bentuk kecerdasan spiritual dan emosional yang terpentuk melalui pendidikan di pondok pesantren. Pernyataan tersebut ditegaskan oleh penelitian di Pondok Pesantren Nasyrul Ulum Pamekasan, bahwa EQ dan SQ memberikan pengaruh 55,1% terhadap perilaku seorang santri dalam bersosial [4].

Menyiasati fenomena ini, penulis menggagas ide Campus Madrasah Diniyah (CMD) sebagai inovasi pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi. Pada umumnya, madrasah diniyah bertempat di dalam pondok pesantren dan santrinya berasal dari kalangan anak-anak kecil pada usia sekolah. Adapun CMDbertempat di dalam perguruan tinggi dan santrinya berasal dari kalangan para mahasiswa perguruan tinggi tersebut. Kehadiran CMD sebagaisebuah wadah pembelajaran literasi islam diharapkan mampu menjadi solusi untuk mencetak generasi muslim yang memiliki intelektualitas dan moralitas sehingga dapat mewujudkan generasi intelektual rabbani berjiwa qur’ani.

Metode

Jenis penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah penulisan pustaka (library research). Penulisan pustaka bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dari berbagai rujukan pustaka seperti jurnal penulisan, buku, artikel, dan bahan pustaka lainnya. Hasil pengkajian bahan pustaka akan ditarik suatu kesimpulan secara umum, kemudian diajukan suatu model penyelesaian terhadap permasalahan yang diangkat. Jenis penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah penulisan pustaka (library research). Dalam penulisan pustaka (library research) instrumen yang digunakan adalah penulis itu sendiri. Penulis sebagai human instrument berfungsi menetapkan fokus penelitian sekaligus sebagai pengumpul data.

Dalam penulisan makalah ini, penulis mengumpulkan berbagai data yang mendukung atau relevan dengan tema yang diangkat melalui berbagai sumber bacaan seperti buku, Al-Qur’an, kitab-kitab salaf, jurnal ilmiah, data pokok Pemerintah dan massa yang dapat diterima kesohihannya. Penulis mencatat alur berfikirnya dan mengasosiasikan data yang didapat dengan sudut pandang tersebut. Kemudian data tersebut dianalisis, hingga akhirnya menjadi kajian ilmiah yang dapat diterima oleh logika manusia secara umum.Analisis data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah content analisys, yaitumetodologi penulisan yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang shahih dari sebuah buku atau dokumen. Melalui teknik ini data akan dianalisis untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Dalam penulisan analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis data model interaktif.

Hasil dan Pembahasan

Kemajuan teknologi harus diimbangi dengan sikap bijak dan bermoral dari manusianya. Di era ini, Mahasiswa sebagai kaum terpelajar yang akan terjun di masyarakat banyak yang terkontaminasi sikap amoral, seperti pergaulan bebas, mabuk-mabukan, dan narkotika. Degradasi moral remaja, PILAR PKBI dari 146 kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD), 37% berstatus sebagai mahasiswa [5]. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Pilar PKBI Jawa Tengah terhadap sampel 64 pria dan 63 wanita, usia mahasiswa menduduki usia terbanyak melakukan perilaku seks bebas, yakni usia 18-20 tahun sebanyak 65,3% dan usia 21-23 tahun sebanyak 19,2% (www.pilarpkbijateng.or.id). Permasalahan degradasi moral di kalangan mahasiswa yang lain adalah penyalahgunaan narkoba. Berdasarkan penelitian Badan Narkotika Nasional dan Pusat Penilitian dan Kesehatan Universitas Indonesia tahun 2016, 40-50 orang meninggal perharinya akibat dampak penyalahgunaan narkotika dan menyebabkan kerugian sekitar 72 triliun rupiah pertahunnya (www.bnn.go.id).

Apabila dalam usia mahasiswa telah melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji, tentu akan berdampak pada moral mereka kelak ketika sudah menjadi orang penting dalam suatu masyarakat seperti melakukan tindak korupsi, berbuat sewenang-wenang, bergaya hidup hedonisme, dan lain sebagainya. Salah satu contohnya yaitu kasus korupsi yang dapat menimbulkan kesenjangan sosial, kemiskinan, kriminalitas, dan berbagai permasalahan yang lain. Berdasarkan data dari ICW, tindak korupsi telah dilakukan oleh berbagai kepala daerah mulai dari bupati, wali kota, dan gubernur (www.republika.co.id).

Mata kuliah Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi merupakan media pendidikan dalam menanamkan peningkatan iman dan takwa dan peningkatan akhlak mulia yang tertuang pada kurikulum yang disusun dengan jenjang pendidikan dalam kerangka NKRI [6]. Pada perguruan tinggi umum, keberadaan mata kuliah pendidikan agama masuk dalam rumpun mata kuliah pengembangan kepribadian, bersama-sama dengan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Output yang diharapkan bukan pada penambahan pengetahuan, tetapi lebih pada pembentukan kompetensi, sikap keagamaan, etos kerja individu dan etos sosial kemasyarakatan [7].

Masalah yang terkait dengan kebijakan tersebut juga berimplikasi pada sedikitnya jumlah SKS untuk mata kuliah agama yang diberikan kepada mahasiswa. Padahal mata kuliah tersebut bertujuan untuk membentuk mahasiswa melalui pendidikan agar dapat menerima IQ, EQ, dan SQ secara komprehensif. Kurikulum pada pendidikan tinggi salah satunya wajib memuat pendidikan agama. SQ yaitu mengenai kecerdasan jiwa seseorang yang membuat dirinya memiliki batasan (benas atau salah) dalam bersikap pada suatu situasi. Berbeda dengan EQ yaitu kecerdasan emosional yang membuat diri seseorang hanya dapat melakukan kemungkinan sikap yang tepat pada situasi dirinya berada [8].

Kebutuhan pemahaman pelajaran agama yang kompleks tentu membutuhkan waktu yang lebih dari dua SKS agar materi yang diberikan tidak hanya dasar dan diharakan dapat memberi pemahaman lebih lanjut. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa, model dan metode pembelajaran mata kuliah keagamaan cenderung dogmatif, tidak kritis, monolog, doktriner, kurang mewadahi perdebatan dan adu gagasan karena dosen yang kurang kompeten dan kurang profesional [9]. Banyaknya materi ajar dan kurang berfariasinya pengajar dalam menyampaikannya, ditambah lagi dengan alokasi waktu yang kurang memadai, menjadikan peserta didik kurang bergairah dalam menyerap perkuliahan [10].

Beberapa kritik yang berkembang di masyarakat di antaranya yaitu bahwa Pendidikan Agama Islam dipandang kurang berhasil dalam membentuk sikap, perilaku, dan pembiasaan peserta didik. Sebagai indikatornya antara lain adalah: (1) rendahnya minat dan kemampuan mahasiswa untuk melaksanakan ibadah; (2) tidak mampu baca tulis Al-Quran; (3) berprilaku kurang terpuji bahkan melakukan tindakan kriminal, misalnya aksi kekerasan, anarkhisme, premanisme, munculnya white collar crimes seperti para eksekutif, birokrasi, guru, politisi, serta isu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang di lakukan oleh para elit, juga merupakan bagian dari kegagalan Pendidikan Agama Islam [11].

Ada pendapat yang berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa timbulnya krisis akhlak dan moral hanya disebabkan karena kegagalan pendidikan agama. Di sisi lain, Pendidikan Agama Islam itu sendiri hingga saat ini masih berhadapan dengan kritik-kritik internal. Diantaranya yaitu Pendidikan Agama Islam kurang bisa mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi ‘makna’ dan ‘nilai’ atau kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik. Pendidikan Agama Islam selama ini lebih menekankan pada aspek knowing dan doing dan belum banyak mengarah ke aspek being[12].

Dalam pembinaan moral, agama mempunyai peranan yang sangat penting [13]. Ada sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kontrol diri, maka semakin rendah kecenderungan perilaku kenakalan remaja [14]. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian yang menunjukkan bahwa ketika dimensi keagamaaan hadir dalam kehidupan remaja, maka cenderung dalam berpikir, bersikap, dan bertindak dalam hubungan sesama manusia akan menjunjung tinggi norma dan nilai agama serta moral sehingga mencegah remaja untuk melakukan tindakan amoral [15].

Salah satu sumber timbulnya krisis akhlak yaitu longgarnya pegangan agama yang menyebabkan hilangnya kontrol diri [16]. Orang yang bertakwa kepada Allah akan takut untuk melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Semakin seseorang mengetahui kebesaran Allah maka akan semakin bertakwa kepada Allah. Ilmu itu haruslah menghasilkan rasa takut dan kagum pada Allah SWT, yang pada gilirannya mendorong yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta memanfaatkannya untuk kepentingan mahkluk [17].

Madrasah diniyah secara bahasa berarti sekolah agama. Adapun secara istilah, madrasah diniyah adalah tempat belajar agama yang proses pembelajarannya terpadu di pondok pesantren. CMD dikembangkan bagi mahasiswa muslim di perguruan tinggi sebagai program pendamping mata kuliah Pendidikan Islam untuk menambal minimnya alokasi waktu pembelajaran mata kuliah tersebut. Dengan demikian, CMD merupakan sebuah inovasi pengembangan mata kuliah Pendidikan Agama Islam di perguruan tinggi yang bertujuan untuk memberikan Pendidikan Agama Islam secara lebih intensif kepada mahasiswa muslim sehingga mereka dapat memperoleh Pendidikan Agama Islam dari perguruan tinggi secara optimal.

CMD dapat diberlakukan bagi seluruh mahasiswa muslim di semua jurusan termasuk jurusan-jurusan yang berhubungan dengan agama islam, seperti jurusan Pendidikan Agama Islam, Ilmu Al-Qur’an, Ilmu Hadits, Ushuluddin dan lain sebagainya. Tidak semua mahasiswa pada jurusan-jurusan tersebut telah memiliki pengetahuan agama islam yang mendalam karena latar pendidikan belakang mereka beragam sebelum masuk perguruan tinggi tersebut. Oleh karena itu, mahasiswa pada jurusan-jurusan tersebut yang telah memiliki pengetahuan agama islam secara mendalam dapat membantu menjadi pengajar CMD. Adapun mahasiswa pada jurusan-jurusan tersebut yang belum memiliki pengetahuan agama secara mendalam dapat menjadi peserta biasa, dengan diberikan materi keagamaan yang berbeda dari materi yang mereka peroleh di perkuliahan.

Seluruh kegiatan operasional CMD dikelola oleh lembaga keagamaan di bawah naungan perguruan tinggi tersebut bekerjasama dengan para dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam di dalamnya. Dalam eksekusinya di lapangan, lembaga keagamaan tersebut dapat dibantu oleh para mahasiswa yang tergabung melalui rekrutmen pengurus CMD. Pada akhir kepengurusan, para pengurus CMD dari kalangan mahasiswa tersebut dapat diberikan penghargaan berupa sertifikat, seragam, dan bingkisan sebagai bentuk apresiasi kepada mereka. Adapun para dosen hanya berperan sebagai pengawas dan penasihat di CMD. Secara umum, rangkaian kegiatan CMD terdiri dari penyusunan kurikulum dan modul, penyelenggaraan pre test, rekrutmen dan pembekalan ustadz sebaya, kegiatan pembelajaran, dan penyelenggaraan post test.

Lembaga pengelola CMD bersifat independen sehingga mempunyai otonomi untuk mengelola keuangannya sendiri. Sumber pendanaan CMD dapat berasal dari hasil penjualan modul CMD dan dana subsidi dari uang kuliah tungal (UKT). Peserta CMD tidak dimintai pembayaran tambahan selain pembelian modul CMD agar tidak merasa keberatan dengan keberadaan CMD. Adapun pengeluaran-pengeluaran CMD diantaranya yaitu biaya percetakan modul CMD, biaya pembekalan pengajar sebaya, dan biaya sarana prasarana untuk menunjang CMD. Selain itu, pihak pengelola juga bertangungjawab atas pemberian bisyaroh bagi para pengajar CMD.

Langkah pembelajaran diawali dengan tahapan utama mengajar yaitu menyusun perencanaan pengajaran dengan baik [18]. Dengan demikian, sebelum penyelenggaraan CMD perlu diadakan forum rapat para dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam pada perguruan tinggi yang bersangkutan. Forum tersebut bertujuan untuk berdiskusi mengenai penyusunan kurikulum dan modul pembelajaran yang akan digunakan sebagai acuan dalam pembelajaran CMD. Modul dapat dirumuskan sebagai suatu unit yang lengkap yang berdiri sendiri dan terdiri atas suatu rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk membantu siswa mencapai sejumlah tujuan yang dirumuskan secara khusus dan jelas [19].

Pembelajaran CMDmenggunakan kurikulum buatan sendiri disesuaikan dengan karakteristik mahasiswa. Sebagian madrasah diniyah dapat menggunakan kurikulum sendiri menurut kemampuan dan persepsinya masing-masing. Pembelajaran di CMD menggunakan metode pembelajaran tutor sebaya. Metode tutor sebaya memiliki kelebihan baik bagi peserta didiknya ataupun pengajarnya [20]. Kelebihan bimbingan dengan tutor sebaya membuat mahasiswa akan sangat fleksibel untuk melakukan pertanyaan-pertanyaan sampai kepada masalah sesederhana mungkin dan sekecil mungkin [21]. Adapun mahasiswa yang menjadi pengajar sebaya akan merasa bangga atas perannya dan juga belajar dari pengalamannya [22].

Setelah kurikulum dan modul CMD tersusun, dilaksanakan pre test pengetahuan agama terhadap semua mahasiswa muslim yang menempuh mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Pre test berfungsi untuk mengetahui pengetahuan agama awal mereka. Pre test tersebut sekaligus menjadi placement test karena juga berfungsi untuk mengklasifikasikan mereka berdasarkan tingkat pengetahuan agama mereka. Placement test dilaksanakan sebelum mahasiswa memasuki program pembelajaran yang juga bertujuan untuk mengelompokkan kelas berdasarkan nilai mereka [23]. Pre test dapat dilakukan pada minggu-minggu awal perkuliahan bersamaan dengan pembelajaran mata kuliah Pendidikan Agama Islam dimulai.

Berdasarkan pre test tersebut, mereka dibagi menjadi empat kategori, yaitu kelas mubtadi’ (dasar), kelas wustha (menengah),kelas ulya (tinggi), dan ustadz sebaya. Ustadz sebaya CMD yaitu pengajar CMD dari kalangan mahasiswa yang dinilai layak untuk mengajar dan telah diberikan pembekalan untuk mengajar. Pengajar sebaya CMD dapat berasal mahasiswa dari berbagai jurusan, asalkan mahasiswa tersebut mempunyai pengetahuan agama yang mendalam baik di pesantren ataupun di madrasah. Di perguruan tinggi, tidak jarang dijumpai istilah santri-mahasiswa [24]. Santri-mahasiswa yaitu individu yang lulus dari pesantren kemudian melanjutkan kuliah atau individu yang kuliah sekaligus menempuh pendidikan di pesantren.

Sebelum mengajar di CMD, mereka terlebih dahulu diberikan pembekalan mengenai cara mengajar oleh para dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Tutor harus terlebih dahulu dibekali semaksimal mungkin dengan hal-hal pembelajaran sehingga mampu memberi materi yang jelas dan memotivasi temanteman untuk belajar (Husen, 2016:372). Pembekalan tesebut dilakukan dua kali dalam satu semester. Pembekalan pertama, dilaksanakan sebelum pembelajaran CMD dimulai bertujuan untuk menyiapkan mereka agar dapat mengajar sesuai dengan kurikulum CMD. Adapun pembekalan kedua, dilaksanakan pada saat pertengahan pembelajaran CMD bertujuan untuk memonitoring dan merefresh teknik pengajaran mereka agar tetap sesuai dengan kurikulum CMD.

Setelah pre test, peserta CMD dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan tingkatan kelas mereka. Setiap satu kelompok berisi satu pengajar dan sekitar 15-20 peserta CMD. Terdapat lima mata pelajaran pada setiap tingkatan kelas, yaitu Al-Qur’an Hadits, Akidah Akhlak, Fikih, Sejarah Islam dan Bahasa Arab. Kegiatanpembelajaran CMD bertempat di ruang-ruang kelas perkuliahan mulai minggu setelah pre test sampai dengan minggu diadakannya post test. Kegiatantersebut dilaksanakan setelah shalat magrib pada hari aktif kuliah, yaitu hari senin sampai dengan hari jumat. Sehari cukup satu mata pelajaran dengan durasi waktu satu jam mengingat banyaknya tugas perkuliahan dan kegiatan organisasi mereka. Pembelajaran ini berlangsung selama satu semester ketika menempuh mata kuliah Pendidikan Agama islam dan diakhiri dengan post test.

Setelah pembelajaran CMD berjalan satu semester, dilaksanakan post test pada akhir semester. Post test bertujuan untuk mengukur pengetahuan agama mereka setelah mengikuti pembelajaran CMD selama satu semester. Post test dapat dilakukan pada minggu-minggu sebelum minggu terakhir perkuliahan agar tidak mengganggu kegiatan ujian akhir semester yang pada umumnya diselenggarakan pada minggu-minggu terakhir perkuliahan. Nilai post test tersebut dijadikan salah satu aspek penilaian untuk memberikan nilai akhir mata kuliah Pendidikan Agama Islam untuk memotivasi para peserta CMD agar mengikuti CMD dengan baik.

Langkah pertama untuk untuk mengimplementasikan gagasan ini yaitu penyusunan konsep dan perancangan pedoman penyelenggaraan CMD. Kemudian pedoman tersebut diterapkan pada suatu perguruan tinggi dengan cara menggandeng pihak yang akan mengelola CMD, yaitu lembaga keagamaan di perguruan tinggi tersebut serta para dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam di dalamnya. Dalam pelaksanaannya, pihak-pihak tersebut perlu memantau pelaksanaanya dan mengevaluasinya secara berkala. Evaluasi tersebut akan menjadi masukan untuk perbaikan teknis dan regulasi CMD. Setelah berhasil terselenggara dengan baik pada perguruan tinggi tersebut, CMD kemudian diseminasikan dan disosialisasikan agar dapat diterapkan pada seluruh perguruan tinggi di Indonesia.

Pihak perguruan tinggi dapat memberikan reward dan punishment untuk memotivasi peserta CMD agar mengikuti kegiatan CMD dengan baik. Untuk punishment, peserta CMD yang tidak mengikuti CMD lebih dari tiga kali tanpa izin yang jelas tidak dapat lulus pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Adapun untuk reward, peserta CMD yang memperoleh nilai post test tertinggi dari setiap kelas dapat diberikan penghargaan dan hadiah. Selain itu, seluruh peserta CMD yang telah mengikuti seluruh kegiatan CMD dapat diberikan sertifikat yang di dalamnya tercantum nilai mereka.

Kesimpulan

CMD diselenggarakan dalam rangka mewadahi mahasiswa muslim agar dapat mempelajari agama islam secara lebih intensif karena terbatasnya alokasi waktu mata kuliah Pendidikan Agama Islam di pergurun tinggi.Kegiatan pembelajaran CMD dilaksanakan setelah shalat magrib pada hari senin sampai dengan hari jumat bertempat di ruang-ruang kelas perkuliahan. Secara garis besar, kegiatan CMD terdiri atas pre test pada awal semester, pembelajaran selama satu semester, dan post test pada akhir semester. CMD dikelola oleh lembaga keagamaan di bawah naungan perguruan tinggi tersebut bekerjasama dengan para dosen mata kuliah Pendidikan Agama Islam di dalamnya serta dibantu oleh parapengurus CMD dari kalangan mahasiswa. Peserta CMD dibagi menjadi empat kategori, yaitu kelas mubtadi’ (dasar), kelas wustha (menengah),kelas ulya (tinggi), dan ustadz sebaya.

References

  1. H. D. Atmanti, “Investasi Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan”, Jurnal Dinamika Pembangunan 2 (1). 30-39, 2005.
  2. M. R. Asmawi, “Strategi Meningkatkan Lulusan Bermutu di Perguruan Tinggi”, Jurnal Sosial Humaniora 9 (2). 66-71, 2005.
  3. M. R. Tikollah dkk, “Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Sikap Etis Mahasiswa Akuntansi (Studi pada Perguaruan Tinggi Negeri di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan)”, Makalah disajikan di Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang pada 23-26 Agustus 2006.
  4. Z. Sabiq & M. A. Djalali, “Kecerdasan Emosi, Kecerdasan Spiritual dan Perilaku Prososial Santri Pondok Pesantren Nasyrul Ulum Pamekasan”, Jurnal Psikologi Indonesia 1 Nomor (2). 53-65, 2012.
  5. Zainafree, “Perilaku Seksual dan Implikasinya Terhadap Kebutuhan Layanan Kesehatan Reproduksi Remaja di lingkungan Kampus (Studi Kasus Pada Mahasiswa Universitas Negeri Semarang)”, Jurnal Kesehatan Masyarakat 4 (3). 63-70 2015.
  6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
  7. SK Mendiknas No.232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa dan No.45/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi.
  8. D. Zohar & I. Marshall, “SQ: Kecerdasan Spiritual”, Terjemahan Rahma Astuti, dkk, Bandung: Mizan Pustaka, 2007.
  9. Puslitbang Penda, “Laporan Penelitian Paham Keagamaan Dosen PTU”, Balitbang Kemenag RI, 2013.
  10. B. S. Mardiatmaja, “Tantangan Dunia Pendidikan”, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1996.
  11. Tim Pakar Fakultas Tarbiyah UIN Malang. “Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer”, Malang : UIN Malang Press, 2009.
  12. Muhaimin, “Rekonstruksi Pendidikan Islam; Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
  13. D. Sumara dkk, “Kenakalan Remaja dan Penanganannya”, Jurnal Penelitian & PPM 4 (2). 129-389, 2017.
  14. I. R. Reza, “Hubungan antara Religiusitas dengan Moralitas pada Remaja di Madrasah Aliyah (MA)”, Jurnal Humanitas 2 (10). 45-58, 2013.
  15. I. S. Aroma & D. R Suminar, “Hubungan Antara Tingkat Kontrol Diri Dengan Kecenderungan Perilaku Kenakalan Remaja”, Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan 2 (1). 1-6, 2012.
  16. S. A. H. Al-Munawwar, “Aktualisasi Nilai-nilai Al Qur’an”, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
  17. M. Q. Shihab, “Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur'an”, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
  18. S. Nurdin, “Guru Profesional & Implementasi Kurikulum”, Jakarta: Quantum Teaching, 2005.
  19. S. Nasution, “Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar”, Jakarta: Bina Aksara, 1998.
  20. S. K. Asrori, “Etos Studi Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam”, Jakarta: PT Mizan Publika, 2009.
  21. U. Husen, “Aplikasi Model Tutorial Sebaya dengan Pengajaran Terprogram dalam Pembelajaran Qira’ah”, Jurnal Lisanuna 2 (6). 363-373, 2016.
  22. S. Setiadi, “Peningkatan Keterampilan Kitabah Arabiyah Mahasiswa melalui Metode Tutor Sebaya”, Jurnal Al-Bayan 1 (9). 31-39, 2017.
  23. Majalah SARUNG Edisi Perdana 2009.
  24. O. Ratnaningtyas, “Pembelajaran Menulis Bahasa Arab di Program Khusus Perkuliahan Bahasa Arab (PKPBA) Universitas Islam Negeri Malang”, Jurnal Tafaqquh 2 (3)., 57-73, 2015.