Articles
DOI: 10.21070/icecrs2020467

Cognitive Behavior Therapy as a Behavior Change Media for Schizophrenic Patients Not Detailed


Cognitive Behaviour Therapy Sebagai Media Perubahan Perilaku untuk Penderita Skizofrenia Tak Terinci

Univeristas Tujuh Belas Agustus
Indonesia
Univeristas Tujuh Belas Agustus
Indonesia
Skizofrenia Cognitive Behaviour Therapy kondisi putus obat

Abstract

Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana metode CBT dapat membantu merubah perilaku dan kognisi pendeita skizofrenia tak terinci yang sering mengalami kondisi putus obat dan sering relaps jika pasien dalam kondisi stress. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya selama dua bulan. Subjek penelitian merupakan penderita skizofrenia tak terinci berusia 32 tahun yang telah menderita gangguan ini selama 20 tahun sejak ia berusia 12 tahun. Penelitian menggunakan metode kualitatif studi kasus. Peneliti menggunakan teknik CBT untuk merubah perilaku dan kognisi penderita yang sering memililiki pemikiran negatif tentang orang lain dan dirubah menjadi pikiran yang positif agar penderita menjadi rajin minum obat dan tidak terjadi kondisi relaps. Pemberian intervensi kepada subjek diberikan sebanyak 10 sesi dimana dalam sesi awal banya dilakukan penggalian pikiran negatif penderita sebelum dilakukan perubahan kognisi dan perilaku. Hasil intervensi menunjukkan bahwa terdapat perubahan perilaku sebelum dan setelah dilakukan intervensi. Perubahan perilaku yang muncul antara lain, subjek mampu merubah pikiran negatif menjadi positif sehingga subjek menjadi paham pentingnya obat dalam kesembuhan dirinya. Hasil intervensi tersebut terus dimonitor sampai dua bulan setelah intervensi untuk melihat apakah perilaku subjek telah menetap.

PENDAHULUAN

Menurut data Riset Kesehatan Daerah (Riskesda) 2013 sampai 2018 dinyatakan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 4,6 per mil dan 1,7 per mil. Dan untuk scizofrenia adalah 1.7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. Pada tahun 2018 terjadi peningkatan yang cukup signifikan jumlah penderita gangguan jiwa berat yang mencapai 7 orang per 1000 orang [1]. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penderita skizofrenia meningkat setiap tahunnya. Perlu adanya perhatian terhadap penderita gangguan jiwa berat seperti gangguan psikotik dan skizofrenia agar gangguan ini tidak semakin berat dan dapat berdayaguna di masyarakat. Schizophrenia adalah gangguan jiwa yang serius ditandai dengan kehilangan kontak pada kenyataan (psikosis), halusinasi, khayalan (kepercayaan yang salah), pikiran yang abnormal dan mengganggu kerja dan fungsi sosial [2][3].

Sedangkan menurut Moedjiono (2007) skizofrenia adalah yaitu gangguan pada proses pikir, emosi dan perilaku dengan gejala kemunduran di bidang sosial, pekerjaan, hubungan pada penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik yang mengalami gangguan proses pikir, berkomunukasi, emosi dan prilaku dengan mengalami gangguan menilai realita, pemahaman diri buruk dan kemunduran hubungan interpersonal [5].

Selain gejala psikotik, disfungsi kognitif merupakan salah satu gejala inti skizofrenia. Sebanyak 40%-60% pasien skizofrenia mengalami gangguan fungsi kognitif. Pasien skizofrenia tersebut mengalami gangguan perhatian, memori, dan fungsi eksekutif, yang berhubungan dengan konsekuensi psikososial (Gold & Green, 2005; Jones & Buckley, 2005; Tuulio-Henrikkson, 2005 dalam Wahyu)[4].

Tidak ada pengobatan tunggal yang dapat memperbaiki banyak gejala dan disabilitas berkaitan dengan skizofrenia. Usaha-usaha terapeutik pada skizofrenia harus komprehensif, multimodal dan secara empirik dititrasi menurut respon dan perkembangan individual pasien. Kemahiran penerapan farmakologik, psikoterapeutik, rehabilitatif, psikososial dan intervensi keluarga serta dukungan masyarakat dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit, memperbaiki hasil pengobatan pasien dan meningkatkan kualitas hidup (Wayne, 2000 dalam wahyu) [4].

Skizofrenia tak terinci termasuk jenis skizofrenia yang memenuhi kriteria umum skizofrenia, namun tidak tidak memenuhi kriteria untuk didiagnosis skizofrenia paranoid, hebrefenik, atau katatonik. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca-skizofrenia [2].

Cognitive Behaviour Therapy merupakan salah satu bentuk terapi psikososial selain terapi keluarga, ketrampilan sosial, konseling supportif,dan rehabilitasi vocasional (Kaplan & Sadddock, 2003 dalam wahyu) [4]. Selama lebih dari dua dekade telah terjadi peningkatan ketertarikan terhadap penerapan tehnik CBT pada pasien skizofrenia, khususnya pada mereka yang terus mengalami gejala psikosis walaupun telah diobati optimal. Tujuan utama dari CBT untuk pengobatan psikosis adalah untuk mengurangi intensitas waham dan halusinasi (dan tekanan yang berhubungan) dan meningkatkan partisipasi aktif dari individu dalam mengurangi resiko kambuh dan tingkat gangguan sosial. Sasaran intervensi adalah penyelidikan yang rasional pada gejala psikosis, menantang bukti dan mempermasalahkan kepercayaan dan pengalaman dengan kenyataan (Bustillo, 2001 dalam wahyu) [4].

METODE

Subjek dalam penelitian ini adalah laki-laki yang berusia 32 tahun dan menderita skizofrenia sejak berusia 12 tahun. Subjek sudah Sembilan kali masuk rumah sakit jiwa karena seringnya kambuh. Kambuhnya subjek biasanya dikarenakan subjek tidak patuh dalam meminum obat, sehingga ketika terjadi kondisi stress maka subjek akan relaps. Dimulai dengan tanda gelisah, tidak bisa tidur, marah-marah dan mengganggu orang disekitarnya. Peneliti telah melakukan assessment pada subjek dengan menggunakan alat ukur WB, Grafis, dan SSCT untuk melihat fungsi kognitif dan gangguan klinis utama yang diderita subjek. Dari hasil assessment diketahui bahwa subjek memiliki taraf kognitif pada taraf rata-rata. pada masa kanak-kanak subjek mengalami pengalaman traumatis yang menyebabkan subjek menderita skizofrenia, dinamakan skizofrenia tida terinci karena merupakan kondisi yang memenuhi kriteria diagnostik umum untuk skizofrenia tetapi tidak sesuai untuk satu pun sub tipe skizofrenia. Subjek seringkali berfikir negatif tentang kondisinya dimana subjek berfikir bahwa tidak ada wanita yang mau menerima kondisinya untuk menjadi pasangan ’’suami“, hal ini membuat subjek minder jika berhadapan dengan wanita. Motivasi subjek untuk sembuh juga karena ia ingin segera menikah maka dari itu ketika ia sudah merasa sembuh ia menghentikan obat tanpa berkonsultasi dengan dokter.

Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dalam pengolahan datanya. Data diperoleh dari observasi, wawancara dan telaah rekam medis. Penelitian berupaya untuk membantu subjek patuh dalam minum obat agar tidak terjadi kondisi relaps. Intervensi pada subjek dilakukan sebanyak sepuluh sesi. Setiap sesi dilakukan selama 45-60 menit. Peneliti menggunakan kertas dan bolpoint untuk membantu subjek menuliskan pikiran negatifnya dan membantu subjek merubah pikiran negative menjadi positif. Tujuannya agar subjek mengetahui pikiran negative yang ada pada dirinya yang berhubungan dengan pentingnya obat untuk kondisinya sehingga subjek bisa meminum obat dengan rutin.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Intervensi pada subjek dilakukan setelah peneliti mendapatkan data dari assessment yang didapatkan baik dari subjek dengan cara observasi, wawancara, dan menggunakan tes psikologi, dan wawancara kepada pihak keluarga, dan wawancara kepada petugas di rumah sakit. Peneliti melakukan beberapa assessment kepada subjek untuk mengetahui kognitif dan psikologis subjek selama penelitian dan menjadi dasar untuk dilakukan intervensi. Assessment pada subjek bisa diamati pada tabel dibawah ini:

No. Jenis Pemeriksaan Tujuan Hasil Assessment
1. Observasi Mengetahui kondisi atau keadaan fisik, psikologis, perilaku, dan kecenderungan gangguan kejiwaan yang dialami S. Subjek bersemangat bertemu dengan orang baru, subjek sering membantu teman-temannya di bangsal. Meski begitu subjek sering menanyakan apakah ada yang bisa menerima kondisi subjek dengan riwayat pernah dirawat di RSJ.
2. Wawancara Menggali data mengenai gejala-gejala yang ada pada diri klien, stressor yang dialami, riwayat kehidupan, dan informasi lain dari S terkait dengan gangguan kejiwaan yang dialaminya. Mengetahui dinamika psikologis S dan menentukan diagnosa. Lingkungan keluargaSejarah keluargaRiwayat kasusRiwayat pengobatanOnset Skizofrenia
3. Grafis (Baum, DAP, HTP) Mendapatkan gambaran kepribadian S, mengenai bagaimana arah dorongan, pemfungsian rasio, dan konsep dirinyab terkait dengan self esteem dalam penampilan fisik Subjek cenderung memiliki control diri yang lemah, cenderung ingin diperhatikan oleh lingkungan, adanya indikasi kecemasan ketika di lingkungan, impulsive, memiliki masalah seksual yang tidak tersalurkan dengan baik, sulit menjalin relasi social dan kurang peka terhadap lingkungan sekitar.
4. WB Memperoleh gambaran cara berfikir, cara memecahkan masalah dan tingkat kecerdasan S Kapasitas intelektual subjek berada pada taraf rata-rata FIQ=106Terdapat indikasi penurunan fungsi mental (MD loss=16%)Subjek termasuk pribadi yang sulit dalam membuat perencanaan dalam menghadapi situasi social, sehingga subjek seringkali salah dalam mengambil keputusan.
5. SSCT Menggali mengenai sikap dan penyesuaian diri dengan lingkungan keluarga, konsep diri, wanita, dan relasi dengan lawan jenis. Subjek memiliki masalah dalam kepercayaan diri sehingga hal tersebut membuat subjek minder dalam pergaulan khususnya dengan lawan jenis, ada perasaan merasa bersalah terhadap keluarga karena sering merepotkan.
Table 1.Asesment

Setelah mengetahui hasil assessment subjek, peneliti memutuskan untuk membantu subjek untuk bisa menerima kondisinya terlebih dahulu, kemudian menggali pikiran-pikiran negatif yang ada pada diri subjek sehingga pikiran negatif yang membuat subjek tidak rutin dalam minum obat bisa berubah menjadi positif. Hal ini dibutuhkan agar subjek patuh minum obat dan tidak sampai terjadi kondisi relaps. Karena jika subjek tidak patuh minum obat dan ia dalam kondisi stress dan memikirkan hal-hal yang negatif hal ini memicu relpas.

Sesi Intervensi Hasil
Sesi 1 Peneliti menggali Problem utama dan target masalah Berenang di bengawan solo karena mendengar suara yang membisiki karena tidak control selama 3 bulan dan tidak minum obat selama 1 bulanTarget masalah: rutin minum obat
Sesi 2 Peneliti menggali konsekuensi Perilaku “C” dari Subjek dan Penyebab Permasalahan “A” Awalnya S mendengarkan music pernikahan tetangga, kemudian konsekuensinya S berenang di sungai bengawan solo selama 4 hari 4 malam
Sesi 3 Peneliti melakukan pemeriksaan dan identifikasi problem emosional sekunderMengajari hubungan B (Perilaku)-C (Konsekuensi) Problem emosional: Keinginan menikah dalam dirinyaHubungan B-CJika Subjek Tidak minum obat maka terjadi Halusinasi perubahan perilaku contohnya gelisah dan tidak bisa tidur akibatnya subjek berenang di bengawan solo 4 hari 4 malam
Sesi 4 Peneliti menggali Pemeriksaan B Keinginan menikah dalam diri yang tidak tersalurkan namun subjek memiliki pemikiran bahwa wanita itu matre (termasuk pikiraan yang tidak rasional) dan ketika halusinasi itu juga termasuk pikiran yang tidak rasional.
Sesi 5 Peneliti membantu Subjek Menghubungkan B-C Melihat pernikahan tetangga yang diawali dengan musik pernikahan membuat subjek tanpa sadar melamun karena terdapat keinginan dalam diri subjek untuk menikah, setelah itu muncul halusinasi dengar yang menyuruh untuk berenang di bengawan solo akibat dari putus obat selama 3 bulan sebelumnya
Sesi 6 Peneliti Menggoyahkan B Tidak mungkin wanita itu tidak melihat laki-laki bila laki-laki itu bertanggung jawab dan mau bekerja keras. Yang dibutuhkan wanita adalah laki-laki yang bertanggung jawab.
Sesi 7 Peneliti membantu subjek Mempersiapkan keyakinan baru Setiap orang memiliki waktunya sendiri untuk menikahHalusinasi tidak perlu ditanggapiJika tidak ingin halusinasi maka subjek harus patuh dalam minum obat sesuai dengan anjuran dokter
Sesi 8 Peneliti membantu subjek untuk Mendorong belajar mempraktekkan keyakinan baru dengan pekerjaan rumah Bila halusinasi datang bisa dialihkan atau dilawan dengan aktifitas seperti olahraga atau kegiatan fisik lainnya.Bila melihat orang lain menikah maka subjek mendoakan semoga pernikahannya bahagia
Sesi 9 Peneliti melakukan Evaluasi, cek pekerjaan rumah Bila melakukan seperti yang dicontohkan maka diberikn reward dalam bentuk pujian dari keluargaSehingga subjek merasa termotivasi untuk mengerjakan pekerjaan rumah lainnya.
Sesi 10 Peneliti Memfasilitasi proses terapi Memberikan pemahaman kepada Subjek agar selalu mengingat apa yang harus dikerjakan bila timbul gejala
Table 2.Pelaksanaan Intervensi

Hasil yang dapat diamati pada subjek setelah dilakukan intervensi ditunjukkan dalam tabel berikut:

Perilaku Sebelum Perilaku Sesudah
Subjek sering tidak patuh dalam minum obat ketika keluar dari rumah sakit jiwa Subjek menyadari pentingnya obat dalam mengontrol halusinasi yang dialami. Apabila subjek merasa sembuh dan tidak minum obat kemudian muncul peristiwa yang membuat stress maka akan muncul halusinasi dan subjek akan mengalami kondisi relaps.
Table 3.Hasil Intervensi

Setelah dilakukan intervensi, kepatuhan minum obat setelah pulang dari rumah sakit jiwa terus dipantau oleh peneliti selama 2 minggu. Pemantauan terhadap kepatuhan minum obat juga dibantu oleh keluarga subjek. Hasilnya subjek rutin mium obat sesuai dengan anjuran dokter, dan juga subjek control ke rumah sakit selama 2 kali dalam 2 minggu.

KESIMPULAN

Cognitive Behaviour Therapy (CBT) terbukti efektif dalam merubah Perilaku kepatuhan subjek dalam minum obat setelah dilakukan dalam 10 sesi selama 2 bulan. Dan juga dilakukan control terhadap Perilaku minum obat setelah keluar dari rumah sakit selama 2 minggu dan hasilnya efektif.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini terselenggara atas bantuan berbagai pihak. Rasa terimakasih peneliti sampaikan kepada pihak-pihak yang membantu terselenggaranya penelitian ini, antara lain:

  1. Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya atas bantuan administrasi sehingga terselenggarannya penelitian ini
  2. Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya atas izin penelitian yang diberikan, sehingga peneliti dapat menggukan akses tersebut untuk melakukan intervensi terhadap salah satu pasien yang di rawat.

References

  1. . Balitbang Kesehatan, 2018. Riskesdas. Kementerian Kesehatan RI
  2. . Rusdi Maslim, “PPDGJ III,“ Jakarta: FK Unika Atmajaya, 2003.
  3. . Gerald Davison. “Abnormal Psychology ” Willow, 2006.
  4. . Wahyu Nur Ambarwati, “Keefektifan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) sebagai Terapi Tambahan Pasien Skizofrenia Kronis di Panti Rehabilitasi Budi Makarti Boyolali,” Surakarta: FK UNS, 2009
  5. . Endang Caturini S, Siti Handayani, “Pengaruh Cognitive Behavioural Therapy (CBT) terhadap Perubahan Kecemasan, Mekanisme Koping, Harga Diri pada Pasien Gangguan Jiwa dengan Skizofrenia di RSJD Surakarta, ”Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Vol. 3 No. 1, Mei 2014, Hlm 41-50.