Articles
DOI: 10.21070/icecrs2020468

Factors Subjective Well-Being Santri are Practicing Fasting Ngrowot


Faktor Faktor Subjective Well-Being Santri yang Mengamalkan Puasa Ngrowot

Universitas Negeri Malang
Indonesia
Universitas Negeri Malang
Indonesia
Kesejahteran Subjektif Santri Puasa Ngrowot

Abstract

Kesejahteraan subjektif  adalah persepsi dan pengalaman pribadi dari respon emosional positif dan negatif yang mengarah kepada kepuasan hidup seseorang. Seyogjanya seorang santri yang mengamalkan puasa ngrowot memiliki kesejahteraan subjektif pula meskipun harus menahan diri untuk memakan nasi sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji faktor-faktor kesejahteraan subjektif santri yang mengamalkan puasa ngrowot. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitiatif dengan pendekatan fenomenologi yang diartikan sebagai pandangan berfikir yang menekankan pada fokus pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia. Terdapat empat faktor yang memengaruhi kesejahteraan subjektif santri yang mengamalkan puasa ngrowot antara lain; spiritualitas berupa keyakinan maupun ritual, kepasrahan, dukungan sosial, dan tujuan hidup.

PENDAHULUAN

Dunia pesantren merupakan salah satu pendidikan tertua di Indonesia yang tetap menjadi pilihan bagi wali santri untuk memondokkan anaknya dengan niat untuk mendidik putra-putri berakhlakul karimah. Pondok, masjid, santri, pengajaran kitab Islam Klasik/ kuning dan Kyai adalah lima elemen dasar pesantren. Ini berarti jika suatu lembaga pengajian yang telah berkembang hingga memiliki kelima elemen tersebut berubah statusnya menjadi pesantren.Istilah pondok berasal dari pengertian asrama-asrama para santri atau tempat inggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata Arab funduq yang artinya hotel atau asrama [1]. Namun tentu saja pada umumnya pondok bukanlah seperti hotel yang memiliki fasilitas lengkap dan mewah bahkan mungkin sebaliknya. Pondok salaf sangat familiar dengan pandangan hidup penuh dengan kesederhanaan, berbagi, dan komunal.

Meskipun saat ini pondok pesantren telah berkembang secara infrastruktur maupun pelayanan, namun konsep hidup riyadhah lahir dan batin menjadi faktor penting dalam proses seseorang mencari ilmu atau tholabul ilmi. Seperti halnya salah satu praktik di pondok pesantren di Malang

Setiap setelah sholat maghrib dan subuh tidak pernah melupkan membaca Surat Yasin dan Surat Al Waqi’ah, setiap pagi santri mengingat hafalan Al Qur’annya hingga terkantuk-kantuk sambil membawa Al Qurannya masing-masing, setelah selesai setoran santri mengantri untuk mandi dengan harapan masih mendapat sisa air, kemudian bersiap menuju kampus/sekolah dengan berjalan kaki atau sepeda kayuh (Pondok Pesantren Al Hikmah Al Fathimiyyah/ Observasi/ Aktivitas Santri/ 28 Maret 2020)

Praktik puasa ngorwotdi Pondok Pesantren Luqmaniyah Yogjakarta adalah budaya Jawa di bidang makanan, dimana seseorang tidak mengkonsumsi nasi dan semua makanan yang terbuat dari beras. Sebagai gantinya pelaku atau penghayat ngrowot mengkonsumsi ubi-ubian, singkong, thiwul, jagung, sayur dan lain sebagainya. Puasa ngrowot boleh makan minum kapanpun yang penting tidak makan nasi baik siang maupun malam [2].

Pada dasarnya keputusan seseorang untuk memilih hidup atau mondok merupakan salah satu langkah riyadhah paling awal dimana banyak hal yang bisa dilakukan oleh siswa atau mahasiswa di luar pondok namun kebebasan itu tidak sepenuhnya di dapatkan di Pondok. Sebagai contoh dari hal pokok yaitu makananan, anak-anak yang tidak mondok mendapatkan fasilitas makan dan layanan dari keluarga yang lengkap tanpa perlu mengantri, tidur kasur sendiri sedang santri harus mengantri, lauk sederhana dan kadang mendapat bagian kadang kehabisan, setelah pulang sekolah bisa langsung belajar, les, istirahat namun santri melanjutkan aktivitas diniyah hingga maghrib.

Jika dilihat dari sudut pandang kesejahteraan umum terdapat kesenjangan antara kondisi ideal fisik, kenyamanan, ketercukupan atas asupan makanan, gizi, kebersihan kamar mandi individu yang berada di pondok dan tidak. Akan tetapi ada banyak santri yang bertahan bertahun-tahun di pondok pesantren. Kesejahteraan subjektif adalah persepsi dan pengalaman pribadi dari respon emosional positif dan negatif dan global (domain) evaluasi kognitif spesifik kepuasan dengan kehidupan. Itu telah didefinisikan sebagai "evaluasi kognitif dan afektif seseorang dari hidupnya" (Diener, 2009). Komponen afektif berkaitan dengan reaksi afektif seseorang saat mengevaluasi kondisi dan peristiwa di dalam hidupnya dan terbagi menjadi dua, yaitu afek positif dan afek negatif. Afek positif adalah emosi-emosi yang merefleksikan reaksi seseorang terhadap peristiwa-peristiwa yang menunjukkan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang ia inginkan, misalnya tertarik atau berminat akan sesuatu (interested), gembira (excited), kuat (strong), antusias (enthusiastic), waspada atau siap siaga (alert), bangga (proud), bersemangat (inspired), penuh tekad (determined), penuh perhatian (attentive), dan aktif (active). Afek negatif merefleksikan respon negatif yang dialami seseorang sebagai reaksinya terhadap keadaan dan peristiwa yang mereka alami, misalnya sedih atau susah (distressed), kecewa (disappointed), bersalah (guilty), takut (scared), bermusuhan (hostile), lekas marah (irritable), malu (shamed), gelisah (nervous), gugup (jittery), dan khawatir (afraid) [3]. Seperti halnya kesejahteraan subjektif ibu jalanan yang dipengaruhi faktor-faktor pendapatan, religiusitas, kebersyukuran, kepribadian, dan dukungan sosial [4]. Lalu bagaimana seorang santri yang melaksanakan puasa ngrowot memelihara kesejahteraan subjektivitasnya di pondok pesantren merupakan fokus bahasan dalam artikel ini.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian terkait perilaku persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah [5].

Jenis penelitian yang digunakan menggunakan fenomenologi transedental. Fenomenologi adalah pandangan berfikir yang menekankan pada fokus pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia. Husserl dalam (Moleong, 2015: 14) memaknai sebagai suatu studi tentang kesadaran perspektif pokok dari seseorang. [6] Fenomenologi Transedental digambarkan dengan tiga konsep. Pertama konsep intensionalitas yang berarti kesadaran bersengaja peneliti terhadap pemikiran, perasaaan, emosi, kemauan, imajinasi, dan seterusnya dalam pemikiran subjek. Hal tersebut memungkinkan peneliti akan berurusan dengan menemukan makna-makna dan esensi dalam pengetahuan melalui kesadaran bersengaja dan keterarahan sebagai suatu fenomena psikis suatu pengalaman internal dalam menyadari sesuatu. Kedua konsep epoche yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti menahan diri, untuk menghakimi, mengindari atau meninggalkan cara-cara lazim sehari-hari dalam menghayati sesuatu. Ketiga konsep intuisi menunjuk pada suatu proses menghasilkan keputusan solid dan benar mengenai sesuatu apapun yang “menampakkan diri” atau “tampil”. Manusia sebagai makluk berfikir-intuitif sekaligus luwes sebagai pemeran utama dalam menentukan diri dan keberadaannya (Moleong, 2015).

Metode pengumpulan data menggunakan observasi atau pengamatan, wawancara, dokumen, dan audiovisual [7]. Sedangkan analisis data melalui lima tahap persiapan data, mendeskribsikan data (Describing), mengklasifikasikan data (Classifying), menghubungkan data (Connecting) dan melaporkan data sekaligus mempertanggungjawabkan data (Account) [8].

Subjek penelitian merupakan seorang santriwan di Pondok Kreatif Baitul Kilmah, Pajangan, Bantul, DIY. Adapun sebelumnya pernah mondok di PPTQ Nur Muhammad Wonoayu, Dukuhmojo, Mojoagung Jombang yang merupakan pondok pertama yang menjadi tempat subjek menuntut ilmu sekaligus menghafal Al Quran, kemudian melanjutkan di PPTQ Roudlotusshalihin Wetas Pasar Kota Malang untuk memperlancar hafalan Al Qurannya. Dilanjutkan Ponpes Sabilurrosyad Gasek Karangbesuki Malang untuk memperdalam keilmuan kitab kuningnya. Santri tersebut juga melaksanakan puasa ngrowot dengan tidak mengkonsumsi nasi sampai dengan waktu yang ditentukan atau diperintahkan oleh Kyai seperti 10 tahun dan seterusnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesejahteran subjektif merupakan hasil dari respon seseorang terhadap suatu kondisi atau peristiwa hidup baik secara positif maupun negatif hingga sampai pada kepuasan hidup seseorang. Kesejahteraan subjektif tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh ketercukupan kebutuhan fisik seseorang melainkan konstruksi psikologis yang berkaitan bukan dengan apa yang orang miliki atau apa yang terjadi pada mereka tetapi dengan cara berpikir dan merasakan apa yang mereka miliki dan apa yang terjadi pada mereka [9]. Melalui studi fenomenlogi kepada salah satu santriwan yang melakukan puasa ngrowot dimana puasa ini tidak mengharuskan seseorang untuk sahur dan berbuka, melainkan seseorang bisa makan, minum layaknya orang pada umunya namun terdapat makanan tertentu yang dilarang untuk dikonsumsi. Sedangkan anjuran puasa ngrowot dan amalan-amalannya dilakukan atas dasar ijazah Kyai [10]. Seperti halnya yang dilakukan subjek penelitian melakukan puasa ngrowot tidak memakan nasi.

Dari penelitian ini menghasilkan faktor-faktor kesejahteraan subjektivitas bagi santri yang puasa ngrowot sebagai berikut.

Spiritual it as

Spiritualitas merupakan dorongan yang menghidupkan semangat jiwa seseorang untuk sampai kepada hidup yang bermakna dan berharga. Tentu hal ini sulit didefinisikan dengan perhitungan materil, bahkan kekosongan yang dirasakan ketika manusia justru telah mencapai kemakmuran seolah mengajarkan betapa kebahagiaan sesungguhnya tidak terletak di sana, melainkan di bagian yang lebih bersifat rohani/spiritual [11]. Itulah yang dialami subjek saat memutuskan puasa ngrowot, seperti dalam pernyataanya.

Saya ngrowotdisuruh kyai saya yang di Jombang itu ‘wis kamu jangan makan nasi ya sudah saya ndak makan nasi karena memang saya punya pemikiran begini dengan guru saya yang di jombang itu, tidak mungkin guru saya memerintahkan sesuatu kepada saya itu dengan sia-sia, maksudnya dengan tidak ada tujuannya dan guru itu tidak mungkin ingin muridnya sengsara, mungkin awalnya iya, nanti hasilnya pasti tidak ya kalau sekarang saya ndak boleh makan nasi, dengan hal yang tidak sewajarnya orang ya saya yakin nanti ada sesuatu yang akan lebih baik yang akan saya dapatkan karena memang tidak mungkin guru saya memerintahkan sesuatu tanpa tujuan (Saddam/Wwn/8-3-2020/Spiritualitas).

Seseorang pada umumnya ingin berada pada kondisi yang nyaman dan membahagiakan. Namun, sebab keyakinannya bahwa seorang yang dipercaya dekat dengan Tuhan yang oleh sebab itu dianggap dapat melakukan komunikasi yang lebih baik dengan Tuhan seperti Kyai sehingga nasihatnya menjadi manjur untuk diikuti [12].

Selain dari pada unsur keyakinan yang menjadi faktor seseorang berada pada tahap kesejahteraan adalah aktivitas spiritual itu sendiri. Kesejahteraan seseorang dapat dihasilkan dari aktivitaas spiritual seperti sholat Jumu'ah (salat Jumat) dalam Islam dan misa minggu dalam agama Kristen adalah kesempatan untuk pertemuan komunitas; sholat Tahajjud (doa larut malam) dan pengakuan kepada anggota ulama dalam agama Katolik dapat digunakan untuk katarsis seseorang [13]. Sama halnya yang dialami subjek bahwa ia merasakan kenyamanan melalui aktivitas ngaji dengan Kyai.

Saya merasakan nikmat banget ketika ngaji bersama kyai, kemudian tentang pendidikan di pesantren, utamanya pesantren yang pernah saya tinggali itu memberikan arahan, misalnya saya males-malesan, nah kalau di pesantren saya nggak boleh males otomatis saya akan tergugah (Saddam/Wwn/8-3-2020/Spiritualitas)

Salah satu aktivitas spiritual dapat meningkatkan kualitas kehidupan melalui ritual. Ritual dapat menyembuhkan baik secara psikologis maupun fisik (Richards & Bergin, 1997). Ritual dapat menghibur pada saat seseorang dalam kondisi tertekan dengan memberikan kegiatan yang menenangkan atau santai, sebagai selingan dari tekanan situasi kehidupan saat ini [14].

Meskipun tampaknya sulit ketika puasa ngrowot atau ketika hafalan Al Qurannya tidak lancar, namun kenikmatan itu datang dari kekuatan atau power yang tampak abstrak namun nyata sebab keyakinannya kepada Tuhan. Menurut Carl Jung (1955) Tuhan adalah suatu kekuatan yang berpengaruh besar yang alami dan pengaruhnya tidak dapat dibendung: Very personal nature and an irresistible influence, I call it God.

Kepasrahan

Kepasrahan merupkan proses pelepasan akan beban seseorang terhadap suatu hal yang telah diusahakan. Pasrah terjadi setelah seseorang berusaha melakukan usaha dengan optimal sambil menunggu hasil yang didambakan seseorang mengiringi kepasrahan atau tawakkal sebagai usaha untuk menyadari bahwa kehendak manusia bukanlah segala-galanya serta mengurangi rasa sakit yang berlebihan ketika hasil tidak sesuai dengan ekspektasi seseorang. Kepasrahan juga mampu menurunkan stress yang berlebihan dari suatu tekanan [15].

Ketika saya pasrah karena sudah mentok itu saya merasa lebih ringan, cara berfikirku dadi enteng, bukan berati saya membiarkan tapi saya itu memasrahkan. Efek yang muncul berfikir saya, efek perilaku saya, saya tetap mau menghadapi itu, saya percaya memasrahkan kepada yang punya hidup ini saya itu jadi tambah percaya diri, saya tambah bisa karena memang saya percaya, saya pasti akan dibantu dengan sang Khalik (Saddam/Wwn/8-3-2020/Pasrah)

Kepasrahan merupakan cara seseorang bereaksi secara positif terhadap suatu stimulus tertentu, termasuk masalah. Emosi positif atau menyenangkan adalah bagian dari kesejahteraan subyektif karena mereka mencerminkan reaksi seseorang terhadap peristiwa yang menandakan kepada orang itu bahwa kehidupan berjalan dengan cara yang diinginkan [16]. Seperti halnya subjek bahkan kepasrahannya yang menghasilkan reaksi positif menghadirkan kekuatan, kepercayaan diri sehingga berbuat lebih banyak untuk hidupnya. Sekali lagi pasrah bukan beramaksud tidak melakukan apapun untuk masalahnya melainkan menambah kekuatan untuk menghadapinya melalui melibatkan kekuatan Tuhan.

Dukungan Sosial

Kesejahteraan seseorang dapat teridentifikasi yang salah satunya hadir dari kemampuan seseorang berhubungan dengan orang lain dan lingkungan sekitar [17]. Hubungan sosial akan menghasilkan dukungan sosial yang positif atau sebaliknya. Dalam temuan ini subjek mendapati faktor dukungan sosial sebagai pengaruh yang besar untuk memelihara kesejahteraan santri. Seperti dalam pernyataannya Kyai, Orangtua, lingkungan pertemanan merupakan aspek penting baginya.

Saya merasa dari kecil hingga sudah bisa hafal saya ikut guru itu, sehingga apa yang dia katakan guru saya ikuti, apapun saya ikuti, sampai sekarang keyakinan saya seperti itu, kan orangtua saya mengatakan seperti itu, kalau orangtua saya itu orangtua kedua, tapi Kyai saya yang saya ikuti dari kecil itu orangtua pertama sehingga ya apapun kedepannya saya ikut kata kyai, dan masalah ngrowot juga gitu, disuruh kyai saya yang di Jombang itu (Saddam/Wwn/8-3-2020/Sosial)

Sosok orangtua dan Kyai menjadi pendorong subjek untuk memutuskan puasa ngrowot, hal tersebut terbukti membuatnya tenang dan merasa lebih tenang, bahkan tidak merasa keberatan. Sampai kapanpun petuah Kyai menjadi panutan yang dipeganginya.

Ini juga berkesuaian dengan kisah seorang hakim yang ditempatkan pada daerah terpencil untuk mengabdi, namun motivasi dari lingkungan membuatnya tetap melakukan pengabdian tersebut meskipun sangat sulit dan melelahkan, karena motivasi diibaratkan sebagai energi panas yang memercik karena gesekan, secara psikologis gesekan–gesekan dengan lingkungan merupakan sumber motivasi yang disebut sebagai tantangan. Tantangan yang ada akan mengusik kebebasan individu dalam bentuk tuntutan atau tekanan yang memaksa individu tersebut untuk meresponnya (Motivational force) [18].

Ketiga faktor teman, saya merasa di pesantren itu tidak pandang bulu gitu, beda kalau saya merasa di kampus gitu, saya merasa di pondok itu welcoming ya ketika kita tidak punya uang teman kita ndak punya uang ya bisa makan bareng kalau nggak punya uang ya nikmatnya kalau punya uang juga bareng (Saddam/Wwn/8-3-2020/Sosial).

Agaknya lingkungan yang menurut subjek memberi kenyamanan adalah ketika seseorang diterima tanpa syarat (unconditional positive regard). Hal tersebut sesuai dengan konsep Rogerian seorang pribadi diterima tanpa syarat, tanpa judge bahwa seseorang tersebut baik maupun buruk [19]. Penelitan kesejahteraan subjektif lansia menghasilkan faktor-faktor kesejahteraan subjektif antara karena hubungan sosial, stategi nafkah, dan pendapatan keluarga [20]. Meskipun demikian ssubjek tampak lebih cocok dengan semboyan orang Jawa “Mangan ora mangan sing penting kumpul” artinya makan tidak makan yang penting berkumpul.

Tujuan Hidup

Tujuan hidup merupakan arah keberlangkahan seseorang yang akan mempengaruhi performa, pengabdian, dan konsep seseorang. Kesejahteraan psikologis seseorang menurut Ryf salah satunya adalah tujuan hidup. Dalam sudut pandang subjek hidup adalah untuk bermanfaat bagi sesamanya.

Intinya hidup itu mengikuti “Wa ma kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun” ya hidup ini untuk ibadah. Tujuan hidup itu banyak tapi intinya manfaat untuk orang lain. Karena itu salah satu implementasi dari ibadah (Saddam/Wwn/8-3-2020/Tujuan).

Tujuan hidup bagi subjek adalah seperti yang dipegangi dalam Al Quran Surat Adz Dzaariyat: 56 “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.

Manifestasi ibadah yang dikehendaki subjek adalah melalui banyak memberikan manfaat bagi orang lain. Seperti yang dikatakan Lyubomirsky, Sheldon, and Schkade (2005) dalam [21]. terdapat tiga hal yang menjadi faktor kesejahteraan seseorang: (a) Pusat sasaran kebahagian seseorng, (b) Keadaan hidup meliputi pemasukan, status, dan agama, dan (c) Pikiran dan Perilaku positif serta, tujuan hidup.

KESIMPULAN

Puasa ngrowot merupakan salah satu tradisi pesantren salaf yang mana puasa ini tidak mengharuskan seseorang untuk sahur dan berbuka, melainkan seseorang bisa makan, minum layaknya orang pada umunya namun terdapat makanan tertentu yang dilarang untuk dikonsumsi. Sedangkan anjuran puasa ngrowot dan amalan-amalannya dilakukan atas dasar ijazah Kyai untuk tujuan semata mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Studi fenomenlogi kepada santri tahfidz yang melaksanakan puasa ngrowot menghasilkan empat faktor kesejahteraan subjektifitas dalam dirinya, antara lain a) Spiritualitas berupa keyakinan dan ritual; Terhadap kekuatan untuk menggerakkan seseorang seperti datang dari Tuhan atau melalui orang yang dekat dengan Tuhan seperti Kyai. Aktivitas mengaji, menghafal Al Quran menjadi sumber kesejahteraan tersebut hadir, b) Kepasrahan; menghasilkan reaksi positif menghadirkan kekuatan, kepercayaan diri sehingga berbuat lebih banyak untuk hidupnya. Pasrah bukan bermaksud tidak melakukan apapun untuk masalahnya melainkan menambah kekuatan untuk menghadapinya melalui melibatkan kekuatan Tuhan, c) Dukungan Sosial; Dukungan Kyai, Orangtua, dan Teman sebagai lingkungan yang menerima subjek tanpa syarat (Unconditional positive regard)menjadi faktor pendorong terbesar dalam hidup subjek, dan d) Tujuan Hidup; yang selalu dipegangi dalam menjalani hidup adalah sesuai dengan Al Quran bahwa hidup untuk ibadah dengan bermanfaat bagi sesama.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu:

  1. Subjek Penelitian Saudara Mohammad Saddam Jamaluddin Ishaq yang berkenan membagikan pengalaman hidupnya.
  2. Rekan penulis artikel Putri Laras Trisnawati yang berkenan bekerjasama dalam menyelesaikan artikel ini.

References

  1. Dhofier, Zamakhsyari. 2015. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES
  2. Suyadi & Albar, Mawi, K. 2018. Budaya Ngrowot dalam Kajian Neurosains di Pondok Pesantren Luqmaniyah Yogjakarta. Ibda’ Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 16, No. 1. Mei 2018 – ISSN: 1693 – 6736 DOI: 10.24090/IDBA.V16I1.139
  3. Diener, Ed, Suh, M. Eunkook, Lucas Ricard, E. and Smith Heidi, L. 1999. Subjective Well-Being: Three Decades of Progress. American Psychological Association. Vol. 125, No. 2, 276 – 302
  4. Fitrianur, Situmorang; Zulida, Nina; & Tentama, Fatwa. 2018. Faktor-faktor yang Memengaruhi Subjective Well-Being pada Ibu Jalanan. Positive Psychology in Dealing with Multigeneration Universitas Pertamina Jakarta
  5. Moleong, L. J. 2015. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
  6. Mappiare, A, AT. 2013. Tipe-tipe Metode Riset Kualitatif. Malang: Elang Mas
  7. Creswell, John W. 2012. Educational Research : Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research. USA: Pearson Education, Inc
  8. Dey, Ian. 1993. Qualitative Data Analysis. USA: Routledge
  9. Maddux, James, E. 2018. Well-Being and Life Satisfaction. New York: Routledge
  10. Saputra, Johan. Ngrowot dan Tazkiyatun Nafs (Studi Manfaat Ngrowot untuk Pembersihan Jiwa di Kalangan Santri Asraa Perguruan Islam (API) Pondok Pesantren Salaf Tegalrejo Magelang Jawa Tengah). Skipsi UIN SUNAN KALIJAGA YOGJAKARTA. http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/32436
  11. Anis, Muhammad. 2013. Spiritualitas di Tengah Modernitas Perkotaan. Jurnal Bayan, Vol. II, No. 4, 2013.
  12. Achidsti, Sayfa, Auliya. 2014. Eksistensi Kiai dalam Masyarakat. Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam Vol. 12, No. 2, Juli - Desember 2014 ISSN : 1693 – 6736
  13. Liem, Andrian. 2019. “Doing My Profession is Also Part of Worship”: How Clinical Psychologists Address Aspects of Spirituality and Religion in Indonesia. Journal of Religion and Health. Springer Science+Business Media, LLC, part of Springer Nature
  14. Miller, Geri. 2003. Incorporating spirituality in Counseling and Psychotherapy. Canada: John Wiley & Sons, Inc
  15. Susanti, E. Rahmah. 2018. Pengaruh Latihan Pasrah Diri Terhadap Tingkat Stres dan Kadar Gula Darah pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Muhammadiyah Journal of Nursing
  16. Diener, Ed. 2006. Guidelines for National Indicators of Subjective Well-Being and Ill-Being. Published online: 3 August 2006 # Springer Science + Business Media B.V. The International Society for Quality-of-Life Studies (ISQOLS) 2006
  17. Ryff, Carol D. 1995. Psychologicsl Well-Being in Adult Life. Sage Publication Psychological Science, Vol. 4 No. 4
  18. Darusmin & Himam. 2015. Subjective Well Being pada Hakim yang Bertugas di Daerah Terpencil. GADJAH MADA JOURNAL OF PSYCHOLOGY VOLUME 1, NO. 3, SEPTEMBER 2015: 192 – 203 ISSN: 2407-7798
  19. Farber, Barry, A. 2011. Positive Regard. American Psychological Association DOI: 10.1037/a0022141
  20. Sulastri, S & Hartoyo. 2014. Pengaruh Dukungan Sosial dan Strategi Nafkah Terhadap Kesejahteraan Subjektif Keluarga Usia Pensiun. Jur. Ilm. Kel. & Kons., Mei 2014, p : 83-92 Vol. 7, No. 2 ISSN : 1907 – 6037
  21. Padhy, Meera; Chelli, Kavya; & Padiri, R. A. 2015. Optimism and Psychological Well-Being of Police Officers With Different Work Experiences. SAGE Open April-June 2015: 1 –7 © The Author(s) 2015 DOI: 10.1177/2158244015580852