Articles
DOI: 10.21070/icecrs2020477

The Bullying Experience in High School Students by the Teacher is reviewed from Psychological Theory


Pengalaman Bullyng pada Siswa SMA oleh Guru ditinjau dari Teori Psikologi

Universitas Surabaya
Indonesia
bullying high school student teachers

Abstract

Bullying at school is the most vulnerable thing to happen. Bullying is not only done by peers, but it can also be done by teachers. If bullying is done by the teacher, it will threaten the welfare of the students. Students will feel insecure and bad things can happen, ranging from student anxiety, dropouts, and suicide. Based on the experience of a guest speaker by a bullyng teacher while in grade 2 of high school there are some feelings that arise as a result of the bullying. Participants had felt very down and wanted to get out of school. The participant claimed he was bullied because he was deemed incapable of doing the tasks of the teacher, besides that he also had a physical that was considered not as beautiful as other friends. The response of participants during getting bullies is anger, self-introspection, trying to be patient, but participants were finally able to continue their schooling to finish because there are two things that strengthen it, namely: social support and self acceptance. With that, the participant was finally able to finish his school well, even he passed the national examination with rank 2 in the district.

PENDAHULUAN

Bullyng hingga saat ini masih menjadi masalah yang menganggu dan belum dapat dimusnahkan. Banyak dampak buruk yang timbul akibat bullyng, salah satunya adalah kesejahteraan disekolah oleh para siswa. Menurut Farah[1], dampak bullyng bagi para korban adalah mengakibatkan rasa kesepian, sulit untuk menyesuaikan diri, rasa tidak aman, rendah diri, depresi dan yang paling buruk adalah bunuh diri.

Bullyng terjadi dimana saja, dirumah oleh keluarga, dilingkungan sosial oleh teman sebaya, ataupun disekolah. Bullyng disekolah adalah hal paling rawan terjadi. Bullyng disekolah bukan hanya dilakukan oleh teman sebaya, namun dapat juga dilakukan oleh guru kepada murid dan sebaliknya, yaitu murid kepada guru. Adanya bullyng juga bisa tidak disadari karena budaya yang diajarkan dalam lingkungan. Bullyng tersebut sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan siapapun sebagai warga sekolah. Bila bullyng dilakukan oleh guru, maka akan mengancam kesejahteraan para siswa. Siswa akan merasa tidak aman dan hal-hal buruk dapat terjadi, mulai dari kecemasan siswa, dropout, dan bunuh diri.

Pada paper ini kita akan berfokus kepada bullyng yang dilakukan oleh guru kepada siswa. Bullyng yang dilakukan oleh siswa kepada siswa lainnya dapat dicegah dengan memberikan pengawasan yang ketat dan penyuluhan oleh guru, namun bagaimana jika bullyng itu dilakukan oleh guru terhadap siswanya ? guru sebagai tokoh berpengaruh yang memiliki otoritas yang besar sebagai pendidik justru merusak kenyamanan belajar siswa dengan bullyng.

Bullyng didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang sistematis dan berulang-ulang, perilaku tidak menyenangkan yang terjadi dari waktu ke waktu, yang dapat terjadi pada anak-anak dan dewasa [1]. Bullyng berulang kali dikaitkan dengan bentuk yang lebih agresif dari kekerasan dan dikaitkan dengan efek negatif pada masa dewasa [2]. Nursasari [3], perundungan atau bullyng adalah perlakuan seseorang dimana seseorang yang kuat (bisa secara fisik maupun mental) dan dominan menekan, memojokan, melecehkan, menyakiti seseorang yang lemah dengan sengaja dan berulang-ulang dan terus menerus, untuk menunjukan, memamerkan, kemampuannya dan kekuasaannya.

Bentuk-bentuk dari bullyng adalah adanya intimidasi dengan nama panggilan, bergosip, pengucilan, dan memukul atau mendorong. Berbagai bentuk kekerasan dalam konteks bullyng adalah mulai dari ancaman verbal hingga serangan fisik dan seksual dianggap mengancam fisik dan psikis korban[2]. Selain itu bullyng juga mengakibatkan anak memiliki pengalaman buruk mengenai sekolah. Pengalaman buruk itu menimbun emosi-emosi negatif dalam diri anak yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam beraktifitas dilingkungan sekolah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Reschly [4], emosi positif yang dirasakan disekolah sering dikaitkan dengan keterlibatan yang lebih tinggi dengan aktifitas belajar disekolah.

Siswa yang mengalami bullyng disekolah juga secara signifikan mengalami gangguan klinis [5]. Gejala trauma pada siswa yang terpapar kekerasan juga lebih tinggi daripada siswa yang tidak. Flashpohler juga mengatakan bahwa siswa yang mengalami intimidasi akan mengalami penurunan kepuasan hidup dan dukungan dari rekan-rekan daripada anak-anak yang belum pernah mengalami intimidasi. Hinduja dan Pachin [6], mengatakan bahwa remaja yang mengalami intimidasi memiliki pemikiran yang besar terhadap bunuh diri daripada pemuda yang tidak mengalami bullyng. Dampak bullyng pada korban juga terlihat melalui keluhan-keluhan fisik dan spikosomatik.

Bullyng bisa saja dilakukan secara tidak sadar karena kebiasaan. Hal ini mudah terjadi pada bullyng secara verbal. Guru sering kali memberikan komentar yang tidak disadari sebagai bullyng, seperti membandingkan satu murid dengan murid yang lain, menggoda, meremehkan, yang dapat berakibat memburuknya psikologis siswa.

Tujuan dari penelitian ini adalah menunjukan pengalaman resiliensi dari siswa yang pernah mengalami bullyng disekolah oleh gurunya. Melalui ini diharapkan kedepannya diberikan pelatihan dan penyuluhan serta pengawasan yang ketat melaui peraturan bukan hanya terhadap siswa, namun juga terhadap perilaku guru dalam mengajar agar tidak terjadi bullyng.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Lexi J. Maloeng [7] mengatakan bahwa penelitian fenomenologi diartikan sebagai pengalaman subjektif partisipan, yang mana fenomenologi menyelidiki hal-hal yang berkaiatan dengan pengalaman kesadaran. Peneliti menggunakan paradigma fenomenologi dikarenakan tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengalaman resiliensi dari partisipan sebagai siswa yang mengalami bullyng disekolah. Hal tersebut mengaharuskan peneliti untuk melakukan penggalian data mengenai pengalaman bertahan partisipan dalam menghadapi rintangan hidup selama ini, sehingga paradigma yang paling sesuai adalah dengan menggunakan fenomenologi.

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 1 orang. Partisipan merupakan siswa yang sekolah SMA yang mengalami bullyng pada tahun 2012 oleh guru-gurunya sendiri. Ia sempat merasa ingin keluar dari sekolah karena ketakutan dan merasa sangat tidak nyaman. Dengan dukungan orang tuanya ia kemudian bertahan melanjutkan sekolahnya. Ia mengaku mendapatkan perlakuan yang buruk secara verbal dari guru-guru yang mengajar mata pelajaran saat ia kelas 2 SMA.

Metode pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam. Wawancara diawali dengan pertanyaan umum mengenai partisipan. Hal tersebut dilakukan dengan harapan terciptanya kepercayaan dari partisipan untuk menceritakan seluruh pengalamannya kepada peneliti. Data yang dikumpulkan berupa transkrip wawancara yang akan dituliskan secara verbatim atau kata per kata. Proses wawancara dilakukan dengan menggunakan alat perekam dengan seijin informan penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian berupa hasil interview kemudian disajikan dalam bentuk tabel yang tersusun berdasarkan kata kunci, kategori dan tema.

Partisipan mengatakan bahwa bullyng merupakan tindakan kekerasan yang dapat merugikan orang lain. Tindakan kekerasan yang dimaksud muncul dalam dua tema, yaitu : intimidasi dan diskriminasi.

  1. Bullyng menurut partisipan adalah sebuah intimidasi, hal ini ditunjukan dari salah satu kutipan “bully adalah tindakan untuk menjatuhkan orang lain..”
  2. Bullyng juga dianggap sebagai suatu tindakan diskriminasi, hal ini ditunjukan dari kalimat partisipan “bully sebagai perilaku yang sangat jahat. Itu merupakan tindakan diskriminasi...”

Berdasarkan hasil wawancara menunjukan bahwa partisipan yang menjadi korban bully dianggap kurang pintar mengerjakan tugas-tugas mata pelajaran guru tersebut, dan partisipan juga dianggap tidak menarik secara fisik

Partisipan mengatakan beberapa kali dibandingkan dengan murid yang lain karena salah mengerjakan soal didepan kelas, “oh iyaa X ajalah yang ngerjain, kamukan selalu gak bisa yaa. Masa X disamakan dengan kamu... bedalah..”

  1. Kekurangan
  2. Kurang menarik secara fisik

Partisipan juga mengatakan bahwa guru pernah mengatakan bahwa jerawat yang ia miliki membuat ia nampak jorok,”..rajin cuci muka, biar cantik kaya Y. Sudah besar jangan jorok..”

Partisipan mengatakan selama mendapakan bullyng ia memilih diam. Ia tidak ingin berurusan dengan pihak yang dominan disekolah, namun ia merasa tertekan dan sangat terpukul. Berat rasanya melewati sepanjang kelas 2. Ia merasa marah namun tidak berani mengungkapkan. Sempat ia putus asa yang mengutarakan ingin berhenti sekolah. Dari hasil wawancara peneliti menyimpulkan ada beberapa tema yang muncul, yaitu :

partisipan menyikapi dengan hanya diam saja dan tidak melakukan pembelaan diri pada saat mendapatkan bully. Hal ini dikemukakan partisipan sebagai berikut:

“aku takut urusannya jadi panjang, makanya aku diam ajaa...”

Partisipan mengatakan ia juga sering kali marah dan merasa kesal. Ia mengatakan seharusnya guru tidak melakukan hal seperti itu, namun ia tidak bisa melakukan apa-apa. Hal ini diungkapkan partisipan dari kalimat “yaa.. kesal laaah, ingin marah, ingin bilang kalo yang dia lakukan itu salah, seharusnya dia memberikan dukungan, tapi dia malah membuat aku merasa buruk sekali...”

Partisipan mengatakan bahwa ia putus asa dan merasa sangat rendah karena kalimat yang sering diucapkan gurunya padanya, hal itu tertuang dari kalimat ia sebagai berikut :

“saya merasa sangat terpuruk. Rasanyaa.. emmm.. seperti hargadiri terluka, ingin marah.. tap mearasa tidak berdaya...sya sempat ingin keluar saja dari sekolah dan sudah bicara dengan orang tua”

  1. Sabar
  2. Marah
  3. Putus asa
  4. Introspeksi diri

Partisipan lebih memilih untuk instrospeksi diri agar dia merasa lebih tenang. Hal ini dilakukan dia dengan menyadari jika memang dia masih memiliki banyak kekurangan dalam mata pelajaran tersebut, sehingga dia berusaha meningkatkan belajarnya.

“aku introspeksi diri aja, emang aku masih kurang pintar dibandingkan yang lain, nilai-nilaiku masih kurang dan aku masih harus belajar lebihhh...”

Pengalaman dibully oleh gurunya sendiri membuat partisipan merasa sangat terpukul hingga ingin berhrnti sekolah, namun partisipan mengatakan bahwa dukungan dari beberapa kawan dan orang tuanya membuatnya mengurungkan niat itu kemudian melanjutkan sekolahnya dan membuktikan bahwa ia lulus ujian nasional dengan peringkat ke 2 se kabupaten. Berdasarkan hasil wawancara hal itu bisa dia capai karena beberapa hal, yaitu :

Sarason [8] mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita. Berdasarkan hasil wawancara, partisipan menyatakan bahwa ia merasakan adanya dukungan sosial yang besar dari lingkungannya. Ia mendapatkan dukungan dari temannya, dan keluarganya. Hal tersebut tertuang dalam penyataannya sebagai berikut :

“saya sangat dekat dengan ayah dan ibu, itu karena saya anak tunggal. Orng tua saya sangat menguatkan saya ketika saya merasa terpuruk dan mmmm saya selalu memang selalu cerita apapun yang saya rasakan. Awalnya mereka juga marah terhadap perlakuan yang diberikan pada saya, tapi mereka terus mendukung dan menguatkan saya untuk menyelesaikan sekolah saya... “

  1. Dukungan sosial
  2. Self acceptance

Penerimaan diri atau self acceptance menurut Chebat & Pichart [9], merupakan sikap yang pada dasarya merasa puas dengan diri sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri serta pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan sendiri. Seseorang yang menerima diri memiliki penghargaan yang tinggi tentang sumber-sumber yang ada pada dirinya digabung dengan penghargaan tentang harga atau kebergunaan dirinya, percaya akan norma-norma serta tentang keterbatasan keterbatasan tanpa menimbulkan tindakan penolakan diri ini berarti bahwa penerimaan diri adalah individu yang menerima kehadiran dirinya mengenal dan menghargai kekayaan-kekayaan (potensi-potensi dirinya). Hal-hal tersebut diungkapkan partisipan pada kalimat-kalimat sebagai berikut :

“..... setelah terpuruk yang rasanya terpuruk bgt, saya akhirnya mulai instrospeksi diri. Saya memang tidak pandai pada mata pelajaran itu, tapi saya pandai dalam bahasa indonesia, saya selalu mendapatkan nilai yang paling tinggi disana. Hal itu menandakan saya bukan orang yang bodoh, saya bisa. Mmmmmm... dan sejak itu berkat dukungan orang tua saya mengusahakan hal-hal yang lebih. Saya mulai les-les. hmmmm... pokoknya saya yakin diluar semua yang dibicarakan tentang saya itu, saya bisa. Saya punya kemampuan juga, dan nggak papa. Nggak paapaa saya gak pinter dibidang itu, tapi saya pintar dibidang lain.”

KESIMPULAN

Partisipan merupakan seorang yang pernah mengalami bullyng oleh guru saat duduk di kelas 2 SMA. Partisipan sempat merasa sangat terpuruk dan ingin keluar dari sekolah. Partisipan mengaku ia dibully karena ia dianggap tidak mampu mengerjakan tugas-tugas dari guru tersebut, selain itu karena ia juga memiiki fisik yang dianggap tidak secantik teman yang lain. Respon partisipan selama mendapatkan bully adalah marah, introspeksi diri, berusaha sabar, namun partisipan akhirnya sanggup melanjutkan sekolahnya hingga selesai karena ada dua hal yang menguatkannya, yaitu : dukungan sosial dan self acceptance. Dengan itu, akhirnya partisipan dapat menyelesaikan sekolahnya dengan baik, bahkan ia lulus ujian nasional dengan peringkat 2 sekabupaten.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih kepada Partisipan dalam penelitian ini (partisipan tidak setuju namanya dicantumkan) telah bersedia berbagi cerita dan sangat kooperatif sehigga memudahkan saya untuk mengumpulkan data.

References

  1. Aulia, F. (2016). Bullying experience in primary school children. Indonesian Journal of School Counseling, 1(1), 28-32
  2. Olweus, D. (1993). Bullying at school: What we know and what we can do. Malden, MA: Blackwell.
  3. Nursasari. (2017). Penerapan Antisipasi Perundungan (Bullying) pada Sekolah Dasar di Kota Tenggarong. Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol.5
  4. Reschly, A.L., Huebner, E.S., Appleton, J.J., Antaramian, S. (2008). Engagement as flourishing: the contribution of positive emotions and coping to adolescent’s engagement at school and with learning. Psychology in the Schools, 45(5).
  5. Flashpohler, P.D., Elfstorm, J.L., Vanderzee, K.L., Sink, H.E., Birchmeier, Z. (2009). Stand by me : The effects of peer and teacher support in mitigating the impact of bullying on quality of life. Psychology in The Schools, 46 (7). DOI : 10.1002/pits.20404.
  6. Hinduja, S., & Patchin, W. (2010). Bullying, cyberbullying, and suicide. Archives of Suicide Research, 14, 206–221
  7. Moloeng, L. (2013). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
  8. King, L. A. (2012). Psikologi umum. Jakarta : Salemba Humanika.
  9. Chebat, C. J., & Picard, J. (2001) Receivers Self Acceptance and The Effectiveness of Two Side Messages. The Journal of Social Psychology, 128(3), 353-362.