Abstract
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) is a medical condition, which is characterized by hyperactivity, inability to focus attention and impulsivity, which is persistent. The location of this research is located at SDN Jimbaran Wetan. The child is male and he is currently seven years old. ADHD children now sit in the first grade of Jimbaran Wetan Elementary School. The purpose of this study was to determine the effect of giving positive reinforcement to the decrease in aggressiveness in ADHD children. The variables of this study are positive reinforcement as an independent variable (X) and aggressiveness as a dependent variable (Y). The Positive Reinforcement Method is a method in which the child with ADHD is given a task to control himself and if the task can be done then the child gets a reword that has been agreed upon in advance, such as if the child shows a good attitude on that day then the child gets a toy gift. This study uses a qualitative experimental approach with within-subject research, namely the type of experimental research that examines an individual's behavior, makes observations, and set a baseline, then intervenes. After the intervention, the researcher made another observation to determine the effect of the intervention. Observations were made just before the intervention, during the intervention and after the intervention using the aggressiveness check list. In filling out the check list, researchers involve class teachers to help control and supervise children with ADHD. Class teachers are also involved to fill the aggressiveness check list so they can find out about changes in the daily behavior of ADHD children in the intervention process. From the results of data analysis it was found that there was a decrease in aggressiveness in children with ADHD. This is indicated from the aggressiveness check list which illustrates that the aggressiveness behavior is increasingly decreasing.
Pendahuluan
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah suatu kondisi medis yang ditandai oleh ketidakmampuan memusatkan perhatian, hiperaktif dan atau impulsif yang terdapat lebih sering dan lebih berat dibandingkan dengan anak-anak yang sebaya. Masalah ini terdapat secara menetap (persisten) dan biasanya menyebabkan kesulitan dalam kehidupan anak, baik di rumah, sekolah, atau dalam hubungan sosial antar manusia.
Data yang diperoleh dari Pusat Pengkajian dan Pengamatan Tumbuh Kembang Anak dalam kurun waktu 1992 – 1998 menunjukkan 17,68% dari total pasien adalah anak yang mengalami GPP dengan atau tanpa hiperaktivitas, atau 9,56% dari total pasien adalah anak-anak yang mengalami GPP tanpa hiperaktivitas (Gamayanti, 1999). Menurut Gamayanti (1999) pada dasarnya anak penyandang GPPH “bukan tidak mampu belajar” tetapi kesulitannya untuk memusatkan perhatian menyebabkan mereka “tidak siap untuk belajar”. Secara umum Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas berkaitan dengan gangguan tingkah laku dan aktivitas kognitif seperti misalnyaberpikir,mengingat, menggambarkan,merangkum, mengorganisasikan dan lain-lain). Ada banyak perilaku yang tak terduga, temper tantrum, dan suasana hati yang berubah-ubah yang dapat menyebabkan suasana hati yang buruk dan depresi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa anak-anak dengan GPPH pada umumnya sangat keras kepala dan impulsif. Kalau anak tidak mendapatkan apa yang diinginkan, biasanya menjadi marah dan menunjukkan temper tantrum. Beberapa anak tidak empatik, hanya punya sedikit perasaan terhadap orang lain. Beberapa di antaranya mengalami gejala seperti berubah-ubahnya suasana hati, kegelisahan, sering meledakkan amarah, harga diri yang buruk dan tendensi untuk mengambil resiko yang tidak perlu. (Farida & Erlina, 2016).
Pada penelitian Dita, dkk (2013) angka prevalensi yang berbeda – beda berdasarkan tingkatan kelas. Prevalensi untuk anak kelas 1 sebesar 16,67%, kelas 3 sebesar 16,67%, dan kelas 5 sebesar 66,66% sedangkan untuk kelas 2, kelas 4, dan kelas 6 tidak didapatkan hasil yang menunjukkan adanya gejala GPPH. Pada penelitian ini didapatkan gejala GPPH lebih banyak ditunjukkan pada anak dengan tingkatan kelas lebih tinggi. Hal ini juga berbeda dengan hasil penelitian Dwidjo Saputro (2009) yang menunjukkan prevalensi pada anak kelas 1 sebesar 30,1%, kelas 2 sebesar 25,3%, kelas 3 sebesar 25,3%, kelas 4 sebesar 25,9%, kelas 5 sebesar 20,7%, dan
kelas 6 sebesar 29,7%. Pada penelitian tersebut angka prevalensi GPPH pada anak kelas 1 hampir sama dengan anak kelas 6. Adanya kondisi ini menunjukkan suatu pola gejala yang berkaitan dengan tipe gejala GPPH. Pada anak dengan tingkatan kelas yang lebih tinggi lebih sering ditemukan gejala inatensi sedangkan anak dengan tingkatan kelas yang lebih rendah lebih sering ditemukan gejala hiperaktivitas – impulsivitas.2 Adanya peningkatan gejala inatensi pada anak dengan tingkatan kelas lebih tinggi menunjukkan bahwa pada saat tersebut anak – anak dituntut untuk memiliki kemampuan fokus yang lebih baik dibandingkan ketika masih berada pada tingkatan kelas yang lebih rendah. Kebutuhan untuk belajar dan pencapaian prestasi akademik yang baik merupakan suatu tuntutan ketika berada pada tingkatan kelas yang lebih tinggi. Pada tingkatan kelas yang lebih rendah, sebagian besar anak – anak masih memiliki keinginan yang besar dalam hal bermain sehingga munculan gejala hiperaktivitas – impulsivitas lebih sering ditemukan.Menurut kriteria diagnosis berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Edisi IV (DSM – IV), GPPH dibagi menjadi beberapa subtipe, yaitu tipe predominan inatensi, tipe predominan hiperaktivitas – impulsivitas, dan tipe kombinasi.3 Ketiga tipe ini memiliki prevalensi yang berbeda – beda. Berbagai penelitian mengemukakan bahwa tipe predominan hiperaktivitas – impulsivitas memiliki insiden lebih besar bila dibandingkan dengan tipe inatensi.2 Dari hasil penelitian ini didapatkan prevalensi GPPH tipe predominan hiperaktivitas – impulsivitas sebesar 66,67% atau sekitar 4 dari 6 orang yang menunjukkan gejala GPPH sedangkan tipe predominan inatensi sebesar 33,33% atau sekitar 2 dari 6 orang yang menunjukkan gejala GPPH. Pada penelitian ini tidak ditemukan subtipe kombinasi. Subtipe GPPH ini berkaitan dengan usia dan tingkatan kelas. Pada penelitian ini ditemukan bahwa 2 dari 4 anak yang menunjukkan gejala GPPH pada tingkatan kelas 5 menunjukkan gejala dominan inatensi dan anak dengan tingkatan kelas yang lebih rendah menunjukkan gejala dominan hiperaktivitas – impulsivitas. Pada anak yang berusia lebih muda dan tingkatan kelas lebih rendah, tipe predominan hiperaktivitas – impulsivitas lebih banyak dibandingkan tipe lainnya. Pada anak yang berusia lebih tua dan tingkatan kelas lebih tinggi, tipe predominan inatensi lebih banyak dibandingkan tipe lainnya. Walaupun gejala hiperaktivitas – impulsivitas akan berkurang seiring pertambahan usia, tetapi gejala inatensi tidak berkurang bahkan cenderung meningkat. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor peningkatan angka prevalensi pada anak yang berusia lebih tua dan tingkatan kelas lebih tinggi. Istilah Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas telah banyak digunakan dan kadang-kadang terjadi tumpang tindih. Setelah perang dunia muncul terminologi hyperkinetic syndrome dengan gejala anak mengalami gangguan tingkah laku, impulsif, agresif dan termasuk gangguan pasca ensefalitis. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV) keadaan tersebut dikenal sebagai hyperkinetic, dan di dalam International Classification of Deseases and Related Health Problems (ICD) dikenal sebagai hyperkinesis dengan gejala yang menonjol hiperaktif, gelisah, tidak dapat diam, berlari dan memanjat berlebihan dan banyak bicara.Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau Gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas (GPP/H) adalah kelainan neurobiologis yang bercirikan ketidaksesuaian perkembangan terhadap umur, waktu pemusatan perhatian yang pendek, adanya gejala hiperaktif, impulsif, atau keduanya. Secara umum GPPH berkaitan dengan gangguan tingkah laku, aktivitas kognitif, mengingat, berpikir, menggambar, merangkum dan mengorganisasikan. Karakteristik ini muncul pada masa kanak- kanak awal, sebelum 7 tahun, dan biasanya pada umur 3 tahun.
Menurut PPDGJ III definisi GPPH telah mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perubahan konsep tentang penyakit tersebut. Sesuai dengan PPDGJ III, terdapat tiga gejala utama yaitu inattentiveness atau tidak mampu memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan impulsivitas. Anak yang menderita GPPH tidak saja menimbulkan masalah belajar di sekolah, tapi juga mengalami masalah dalam semua aspek kehidupan, yaitu dalam bidang sosial, olahraga, kegiatan dengan anak lain, dan hubungan dalam keluarga. Agar dapat memahami anak, kita harus melihat kesulitan yang dialaminya dalam segala bidang. Anak dengan GPPH dapat mengalami:
1.Kesulitan dalam bidang sosial (kurang matang, hubungan dengan teman sebaya buruk) Anak dengan GPPH seringkali mengalami kesulitan berhubungan dengan teman sebaya. Mereka mungkin lebih memilih bermain dengan anak yang lebih muda atau sama sekali tidak bermain dengan semua anak. Beberapa anak dengan GPPH sering merasa malu atau mengalami kegagalan mengendalikan dirinya. Mereka hanya ingin melakukan apa yang mereka inginkan dan dengan caranya sendiri. Mereka terlihat bossy dan tidak dapat diduga. Anak dengan GPPH memiliki kesulitan memproses informasi, termasuk bahasa (baik kata-kata maupun tulisan). Ini mengakibatkan mereka sering salah persepsi terhadap maksud orang lain dan dalam menanggapi pelajaran di sekolah. Beberapa anak dengan GPPH sulit mengikuti dan mematuhi norma sosial sehingga mengalami hambatan dalam mengembangkan keterampilan sosial. Mereka tidak mampu memberikan respons yang tepat terhadap rangsangan yang datang dari lingkungan sekitar.
Masalah emosional Anak dengan GPPH
seringkali merasa frustrasi dan terlihat tidak bahagia. Mereka sering mengalami kegagalan, oleh karena itu mereka merasa tak adekuat, nakal dan malas. Mereka sering berpikir bahwa mereka bodoh, karena tidak pintar di sekolah. Perasaan ini dapat menyebabkan mereka menjadi reaktif, sehingga menimbulkan konflik. Mereka menginternalisasi perasaan mereka sehingga menjadi depresif. Banyak anak dengan GPPH yang tidak ditangani dengan baik, memiliki rasa percaya diri yang kurang dan citra diri yang buruk sehingga dapat terjadi perilaku berisiko tinggi seperti kenakalan remaja, penyalahgunaan NAPZA dan tawuran. Sebagian anak yang menderita GPPH memanipulasi dunianya untuk menghindari situasi yang stres seperti membaca atau mengerjakan matematika, atau apapun yang menyebabkan mereka sulit berkonsentrasi. Contohnya mereka bisa menjadi ”badut kelas” atau melakukan hal lain yang menyebabkan mereka dikeluarkan dari kelas.
Menurut Desmita (2009:44) teori belajar behavioristik merupakan teori belajar memahami tingkah laku manusia yang menggunakan pendekatan objektif, mekanistik, dan materialistik, sehingga perubahan tingkah laku pada diri seseorang dapat dilakukan melalui upaya pengkondisian. Dengan kata lain, mempelajari tingkah laku seseorang seharusnya dilakukan melalui pengujian dan pengamatan atas tingkah laku yang terlihat, bukan dengan mengamati kegiatan bagian- bagian dalam tubuh. Teori ini mengutamakan pengamatan, sebab pengamatan merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Terapi untuk anak GPPH beraneka macam dan masing-masing menyatakan sebagai terapi yang efektif untuk menyembuhkan GPPH. Macam-macam terapi yang akan dikemukakan di sini berupa : pengobatan, modifikasi perilaku, diet makanan tertentu. Ada tiga jenis obat yang paling sering digunakan dalam terapi GPPH, yaitu:methylphenidate(Ritalin), dextroamphetamine (Dexedrine) dan Pemoline. Obat-obat tersebut berfungsi sebagai stimulan (perangsang). Dalam beberapa kasus, antidepressant juga digunakan. Selanjutnya Fanu, dalam Farida&Erlina (2016) menjelaskan bahwa penelitian-penelitian yang menggunakan kontrol telah berhasil menemukan fakta bahwa sekitar 80 persen anak-anak yang mengalami GPPH menunjukkan kemajuan yang berarti setelah mendapatkan pengobatan dan perilaku hiperaktifnya menjadi berkurang, dapat memberikan perhatian dengan lebih terfokus terhadap tugas sekolah atau aktivitas-aktivitas lainnya.
Modifikasi atau mengubah perilaku atau dikenal juga dengan nama manajemen perilaku. Banyak cara dalam modifikasi perilaku, diantaranya adalah melakukan penguatan (reinforcement) dan penghentian (extinction) atas perilaku tertentu. Penguatan dapat digunakan untuk mendorong anak agar mengulang-ulang perilaku tertentu yang diinginkan. Penghentian dilakukan supaya anak tidak mengulangi lagi perilaku tertentu yang tidak diinginkan.
Metode
Penelitian dilaksanakan di SDN Jimbaran Wetan. Subjek penelitian adalah siswa kelas satu SD. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 9 Oktober 2019 sampai 9 November 2019. Alasan dipilihnya anak tersebut karenak anak itu mempunyai perilaku agresive seperti memukul temannya, sehingga anak tersebut dijauhi oleh teman sebayanya, hal tersebut dapat mempengaruhi perkembangan anak tersebut. Metode yang digunakan peneliti adalah Reinforcement Positive. Penelitian ini menggunakan pendekatan eksperimen kualitatif dengan within-subject research, yaitu tipe penelitian eksperimen yang meneliti perilaku seorang individu, melakukan observasi, dan menetapkan baseline, kemudian melakukan intervensi. Setelah intervensi, peneliti melakukan observasi kembali untuk mengetahui pengaruh intervensi. Observasi dilakukan saat sebelum intervensi, selama intervensi dan setelah intervensi menggunakan check list agresivitas. Observasi merupakan metode pengumpulan data penelitian yang dilakukan melalui pengamatan secara langsung terhadap subjek. Setiap perilaku yang dimunculkan oleh subjek dicatat secara sistematis untuk selanjutnya dianalisa bersama data yang lain. Metode observasi yang dipakai adalah observasi partisipan yaitu peneliti terlibat secara langsung dalam setiap aktivitas yang dilakukan subjek dan menjadi bagian dari kelompok subjek selama pengamatan (Moleong, 2001). Observasi ini dilakukan dengan membuat pedoman observasi yang berisi tentang aspek-aspek perilaku subjek baik verbal maupun non verbal
yang muncul selama diskusi kelompok. Aspek-aspek yang diobservasi terdiri dari konsentrasi, penguasaan materi, motivasi, komunikasi, dan stabilitas emosi.Metode ini dilakukan dengan cara dimana anak GPPH diberi suatu tugas untuk pengendalian dirinya dan apabila tugas itu dapat dilakukan maka anak tersebut mendapat reword yang sudah disepakati sebelumnya. Peneliti membuat kesepakatan dengan anak GPPH untuk penentuan reward yang di inginkan anak tersebut. Setelah semuanya disepakati maka apabila anak menunjukkan sikap yang baik pada saat intervensi, anak tersebut mendapat hadiah mobil-mobilan dan apabila masih terlihat agresivitasnya, anak tersebut di ingatkan dan tidak akan diberi reward. Peneliti disini juga melibatkan guru kelas untuk mengobservasi dan mengisi check list yang sudah disediakan. Penelitian ini dilakukan selama 30 hari yang terdiri 10 hari dilakukan untuk assessment dan 20 hari selanjutnya digunakan untuk intervensi. Dalam intervensi tersebut dilakukan perubahan waktu reward hingga penghilangan reward. Pada tiga hari pertama peneliti memberi reward setiap hari bila kesepakatan terpenuhi kemudian reward diberikan dalam tiga hari sekali dan itu dilakukan dalam tiga kali. Setelah itu reward dihilangkan. Hal itu dilakukan agar anak tersebut tidak ketergantungan dengan reward tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa pemberian reinforcement positive dapat menurunkan agresivitas pada anak GPPH, yang ditunjukkan pada perubahan sehari-hari yang ditunjukkan dari hasil check list yang sudah dilakukan saat proses intervensi. Dari observasi yang dilakukan dalam intervensi tersebut bahwa terlihat anak GPPH sebenarnya tidak nakal ataupun suka mengganggu teman. Anak GPPH tersebut sebenarnya ingin mencari perhatian dengan orang disekitarnya tetapi anak tersebut tidak mengetahui bagaimana cara untuk mengungkapkan perasaan tersebut, sehingga anak gpph cenderung mencari perhatian dengan cara mengganggu teman atau orang sekitar. Sehingga anak tersebut seperti anak yang nakal.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian terhadap anak GPPH pada SDN Jimbaran. Maka dapat di ambil kesimpulan bahwa reinforcement positive dapat menurunkan agresifitas pada anak GPPH.
References
- Maslim, R.( 2013). Diagnosis Gangguan Jiwa (Rujukan dari PPDGJ III dan DSM 5). Jakarta :PT Nuh Jaya
- Farida & Erlina.(2016). Perbedaan Pengetahuan tentang Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) antara Sebelum dan Sesudah Diskusi Kelompok pada Orang Tua yang Memiliki Anak GPPH
- Dita, Amel, Masri. (2013) Prevalensi Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas pada Siswa dan Siswi Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Padang. Kota Padang
- Maramis, W.F & Maramis, A.A. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa (Edisi Kedua). Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR, Airlangga University Press.
- Baharuddin & Makin, Behavioristik, Konsep, Teori, dan Aplikasi dalam Dunia Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009)
- Corey, G.(2013). Teori dan praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung : PT Refika Aditama.
- Hall, S C & Lindzey, G. (1993). Teori-teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta : Penerbit PT Kanisus ( Anggota IKAPI).
- Wiramiharja, A Sutardjo. (2005). Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: PT. Refika Aditama.
- Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 1. Yogyakarta : Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI).
- Judarwanto Widodo. Penatalaksanaan attention deficit hyperactive disorders pada anak. Diakses pada tanggal 3 September 2019. melalui http://adhd.or.id/.